Rabu, 05 Mei 2021

MEDIA DAN PROSES SELEKSI PEMBERITAAN ERA DISTRUPSI

 

Masifnya peredaran informasi palsu (hoaks) melalui media sosial hendaknya menyadarkan pengelola media arus utama untuk bekerja lebih profesional dengan standar jurnalistik tinggi. Masyarakat butuh rujukan informasi yang tepercaya dan pada sisi itulah media massa dapat menjawabnya melalui suguhan informasi terverifikasi. Tantangan di tengah lanskap media baru ini memang membutuhkan kerja cerdas. Manuel Castells (2007) menekankan bahwa pertarungan utama di masyarakat adalah memenangi pikiran orang-orang. Pers memiliki peran dan menyediakan ruang yang luas.

Berita bohong kini menjadi persoalan yang membuat kredibilitas media serta dunia jurnalistik terpuruk. Sebagian orang meragukan berita-berita yang berseliweran karena tidak ada jaminan kebenaran dari berita itu. Di sisi lain, peran sebagai pengecek atau mengonfirmasi fakta belum banyak didalami media massa arus utama. Media massa arus utama (mainstream) semakin dibutuhkan ditengah serbuan media sosial (medsos). Kehadiran media mainstream menjadi ujung tombak menangkal informasi ujaran kebencian dan hoaks yang marak disebarkan melalui medsos. Jika saja media sosial dan media abal-abal yang tak terverifikasi yang menjadi sumber informasi utama masyarakat, akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan, disegala aspek kehidupan sosial, ekonomi, stabilitas politik dan keamanan sebuah negara.

Media mainstream masih sangat efektif untuk menangkal hoaks dan menjadi rujukan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan informasi yang benar. Sebenarnya media mainstream itu sudah memiliki aturan main yang sangat ketat dalam proses penyajian berita. Berita itu laik diberitakan sudah melalui suatu proses panjang hingga diputuskan untuk diberitakan. Dalam konteks ini maka suatu berita tentu sudah diketahui apakah itu benar atau hoaks. Media mainstream harus memperketat lagi proses seleksi berita khususnya sumber-sumber informasi yang akurat sehingga media mainstream tidak menjadi agen penyebar hoaks. Saat ini memang media mainstream masih menjadi acuan publik dalam mendapatkan informasi yang benar meskipun sudah banyak media sosial tetapi belum menjadi rujukan bagi publik akibat medsos kerap digunakan untuk menebar hoaks. Intinya sumber informasi dari media mainstream harus terverifikasi kevalidannya sebelum informasi itu dijadikan berita dan dikonsumsi publik luas.

Media massa secara ideal seharusnya selalu berada dipihak jurnalisme yang baik. Para jurnalis mendalami materi-materi dalam penulisan berita untuk menghasilkan informasi yang mencerahkan, optimisme, membangkitkan harapan bagi masyarakat. Dengan cara demikian, ia bisa menjadi jembatan berbagai pandangan  berbeda di tengah-tengah masyarakatnya.

Keberadaan media massa pun kian beraneka ragam. Dari dulu hanya dalam bentuk suratkabar, majalah, tabloid, televisi, dan radio, kini sudah menjamur media massa daring (online). Media massa online memang tengah sangat digandrungi sebagian besar masyarakat di Republik ini. Tak peduli usia, media online menawarkan kemudahan dan kepraktisannya dalam mengakses. Akan tetapi, media online bagaikan buah simalakama. Di satu sisi lebih cepat membawa berita aktual, tetapi di sisi lain sering kali kurang beretika. Dikatakan kurang beretika karena faktanya media online sering lalai dalam memegang sifat dasar berupa kejujuran, integritas, dan kemanusiaan. Betapa sering terlihat berita yang berisi hoaks, provokatif, parsial, pembunuhan karakter seseorang, dan memojokkan kelompok tertentu. Alasan komersial dan monetasi media sering kali membuat sang pemilik akun abai untuk cek dan konfirmasi akan kebenaran berita yang disebarkannya sehingga hal ini mengakibatkan banyak fitnah bertebaran di media sosial yang tentunya sangat merugikan.

Berita-berita dengan konten hoaks tersebut alih-alih memberi pencerahan kepada publik, tetapi menjadi pemecah belah dan pengadu domba sesama bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, membenahi segala sesuatu yang kurang beretika, merefleksi diri dengan apa yang sudah terjadi, dan mengoreksi hal-hal culas. Kembalikan citra pers yang beretika dengan memegang prinsip kejujuran, berimbang, konfirmatif, cek, dan ricek sebelum rilis menjadi sebuah berita agar tidak ada lagi berita hoaks, provokatif, dan sejenisnya. Dengan adanya berita-berita yang akurat, berimbang, dan mencerahkan publik, pers bukan saja menjadi penebar informasi, melainkan juga penebar  kedamaian menuju persatuan bangsa yang kian kukuh lagi (Media Indonesia, 17/2/2018. Hal. 7).  Media massa berperan penting dalam memberikan pilihan arah berikut konsekuensinya kepada masyarakat. Dengan cara tersebut, khalayak akan tercerahkan dengan sajian yang ada di media massa arus utama. Keberadaan media cetak tetap dibutuhkan sebagai menjadi penjernih di era tsunami informasi, termasuk maraknya berita bohong atau hoaks. Namun, itu mensyaratkan kedekatan dengan pembaca dengan sajian informasi yang obyektif dan optimis dalam upaya membangun kapabilitas pasar digital agar kelangsungan bisnis media massa arus utama tak terancam tutup.

Pers Indonesia sayogyanya berkomitmen menjalankan fungsinya untuk mendidik, menghibur, mengedukasi, dan melakukan kontrol sosial. Independensi pers harus tetap dijaga untuk menjaga marwah jurnalisme itu sendiri. Pers harus mampu menjalankan perannya sebagai rumah penjernih informasi di tengah maraknya “informasi” dan berita bohong. Oleh sebab itu, pers diharapan menjadi salah satu pilar demokrasi, sebagai pasar ide dan watchdog. Di tengah maraknya media sosial, pers dituntut untuk menjelaskan duduknya perkara dan mengangkat fakta yang selama ini tak terungkap. Peran pers sebagai penyuara orang yang tak bisa bersuara justru menjadi kebutuhan saat ini. Terungkapnya bencana kesehatan di Agats, Asmat, Papua, adalah salah satu peran pers yang diharapkan warga.

(Di sarikan dari Bambang Mudjiyanto, Amri Dunan Puslitbang Aptika dan IKP, Badan Litbang SDM, Kementerian Kominfo Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta 10110 bamb037@kominfo.go.id, bambangmudjiyanto26@gmail.com amri007@kominfo.go.id, amridunan007@gmail.com  )