Setelah melewati zaman orde baru,
Indonesia telah masuk ke dalam ranah kebebasan pers. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
seperti media massa, menyebabkan terjadi perubahan secara cepat dimana-mana.
Media massa sedikit demi sedikit membawa masuk masyarakat ke suatu pola budaya
yang baru dan mulai menentukan pola pikir serta budaya perilaku masyarakat.
Tanpa disadari media massa telah ikut mengatur jadwal hidup kita serta
menciptakan sejumlah kebutuhan. Hal ini lah yang menjadikan pers/media itu
menjadi penguasa keempat di Indonesia, setelah eksekutif, legislative dan
yudikatif. Fungsi media sebagai pengontrol sosial masyarakat pun tidak
benar-benar menjadi “pengontrol” seperti seharusnya tetapi “dikontrol” oleh
tayangan atau informasi yang dihadirkan media.
Pergeseran pola
tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan
keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola
tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan
atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang figur yang sedang
diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang
akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam
hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang
mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8).
Pola pikir masyarakat
itu sendiri juga mempengaruhi bagaimana dalam
menerima sebuah informasi dari media massa. Setiap individu berasal dari institusi
formal dan institusi sosial yang
berbeda-beda, hal ini lah yang melatarbelakangi bagaimana seseorang menerima
sebuah informasi. Bagi masyarakat awam (pendidikan lemah), informasi yang
berasal dari media massa sangatlah mudah diterima begitu saja oleh kelompok
ini, ini karena sifat media massa yang luas. Akibatnya banyak masyarakat yang
dikontrol oleh penyajian media massa tanpa di saring terlebih dahulu dan
fenomena ini mengacu pada teori jarum suntik (Hypodermic Needle Theory) yang
dipelopori oleh Wilbur Schram. Konsep “institusi” dalam kajian media
kadang-kadang tumpang tindih dengan konsep “industri” (Gill Branston dan Roy
Stafford, 2003), yang pada dasarnya dapat dipisahkan. Konsep institusi
berkaitan dengan ide-ide yang diambil dari sosiologi, psikologi, dan politik.
Karenanya, aspek-aspek kelembagaan aktivitas media seringkali sulit dimengerti,
karena berkait dengan proses dan hubungan yang kurang nyata dibanding
lembaran-lembaran neraca perusahaan atau kontrak-kontrak pekerjaan. Di sinilah,
letak perlunya aspek institusi dan industri dari sebuah media dikaji dan
dipahami terlebih dahulu sebelum lebih jauh melakukan kajian media dari
berbagai sudutnya.
·
Menajeman Media Massa Sebagai Institusi
O’Sullivan
mengatakan, sebagaimana ditulis Gill Branston dan Roy Stafford, bahwa secara
general institusi adalah pengaturan yang bersifat tetap dan struktur yang
diorganisasikan dari satu masyarakat, sumber-sumber kode sosial utama, aturan
dan hubungan, yang memaksa dan mengendalikan individu-individu dan
kepribadiannya, berdasarkan prinsip dan nilai pokok yang ditekankan menurut
praktek budaya dan sosial yang diorganisir dan dikoordinasikan (2003: 183).
Pada perkembangan di institusi media di Indonesia, aspek
kepemilikan saham di media (kepemimpinan), ekonomi dan pemasaran media akan
sangat menentukan ideologi yang diusung media, di mana ideologi tersbeut jika
mengarah pada pendekatan ekonomi politik media akan memunculkan pelaku media
yang kurang akrab dengan etika komunikasi. Etika komunikasi di sini ditempatkan
hanya sebagai instrumen belaka dan menjadi kurang bermakna dalam menentukan isi
program, kualitas program serta penghormatan pelaku media terhadap hak asasi
manusia yang direpresentasikan pada individu sebagai sumber informasi. Pilihan
ini menimbulkan etika komunikasi pada pelaku media dianggap sudah mengalami
reduksi. Pelaku media sebagai profesi telah mengambil jalan pintas dengan
mengacu asas manfaat lebih mengutamakan asas manfaat dalam peliputan dan
pemberitaannya, yang sekaligus paradoks dengan etika profesi yang diembannya.
Diperparah lagi ketiadaan penghormatan atas asas praduga tak bersalah atas nama
demi kepentingan publik untuk memperoleh informasi, akan semakin menjadikan
media massa dan pelaku media sebagai pribadi-pribadi yang dominan dalam
merekonstruksi dan memanipulasi realitas sosial. Hingga di sini pilihan
terhadap kecenderungan pemaknaan pendekatan ekonomi politik atau pendekatan
etika, sebenarnya keduanya tidak memiliki implikasi hukum yang kentara,
semuanya dikembalikan kepada masing-masing pribadi yang terlibat dalam
aktivitas di institusi media massa.
Dalam studi media, pendekatan organisasi dapat
menjelaskan isi media. Mendekatan organisasi melihat bahwa pengelola media sebagai
pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita.dalam pendekatan
ini, media dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada di dalam ruang
redaksi. Praktik kerja, preofesionalisme dan tata aturan yang ada dalam ruang
organisasi adalah unsure-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Proses
produksi berita adalah mekanisme keredaksian semata, di mana setiap
organisasi berita mempunyai pola dan
mekanisme tersendiri untuk memberitakan suatu peristiwa
·
Menajeman Media Massa Sebagai Industri
Dalam media televisi, tingginya rating adalah ukuran
keberhasilan. Sedangkan untuk surat kabar dan majalah, kriteria yang berlaku
adalah jumlah pelanggan, yang pada gilirannya akan sangat menentukan daya tarik
bagi pemasang iklan. Kekhasan yang seharusnya membentuk citra suatu media
(media identity) ironisnya justru menyeret masuk ke suatu jebakan. Lebih
tragisnya adalah yang sering tidak disadari adalah jebakan mimetisme. Keinginan
media untuk memiliki tampilan yang khas yang tidak jarang justru menjerumuskan
ke dalam keseragaman. Mimetisme media menunjukkan bagaimana penting/tidaknya
pemberitaan sering ditentukan oleh sejauh mana media-media lain dipacu untuk
meliputnya. Penentuan nilai pentingnya suatu pemberitaan seolah terletak pada
sejauh mana dinginkan oleh media yang lain. Lingkup manuver yang seharusnya
dibuka untuk mengolah kekhasannya (jati diri media), akhirnya jati diri itu
tidak tercipta karena justru harus menyesuaikan diri (adaptasi) dengan gairah
media-media lain. Bila tidak memberitakan apa yang diberitakan oleh media lain,
ada semacam ketakutan ditinggalkan oleh pemirsa atau pembaca, selanjutnya yang
dipertaruhkan adalah keuntungan ekonomi.
Demikian dalamnya pengaruh determinisme ekonomi
dalam dunia media di Indonesia, sehngga hirarkisasi nilai ditentukan oleh
konsumsi massa, sedangkan etika dan profesionalisme jurnalis seringkali
dikalahkan. Sebagai saluran
komunikasi politik dan atau sebagai institusi politik dalam banyak masa dan
tempat, media dapat meraih posisi sebagai kekuasaan keempat (the fourth
estate). Tetapi, sebagai sebuah industri masalahnya menjadi lain.
Peranannya sebagai sebagai kekuasaan keempat sewaktu-waktu “tercecer” ketika
media harus tawar menawar dengan kekuatan pasar dan kekuasaan. Sebagai
industri, media sangat terkait dengan fungsi bisnis yang acuannya lebih pada
untung rugi yang dapat diraih dalam menyampaikan informasi. Karenanya, walaupun
sulit dipisahkan antara aspek institusi dan industri dari sebuah media, tetapi
dua aspek media tersebut, jelas punya batas-batas masing-masing.
REFERENSI
Politik Media Dan Pertarungan Wacana Oleh Agus
Sudibyo (2001)
“Institusi Media Massa Dan Pengaruhnya Pada
Masyarakat “ Oleh Abdul Pirol (2011)
“Hukum,
profesi jurnalistik dan etika media massa”
oleh prof. Dr. H. Abdul choliq
dahlan, ma. (2011)