Kamis, 24 Maret 2016

Ekonomi dan Pemasaran Media

            Setelah melewati zaman orde baru, Indonesia telah masuk ke dalam ranah kebebasan pers. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti media massa, menyebabkan terjadi perubahan secara cepat dimana-mana. Media massa sedikit demi sedikit membawa masuk masyarakat ke suatu pola budaya yang baru dan mulai menentukan pola pikir serta budaya perilaku masyarakat. Tanpa disadari media massa telah ikut mengatur jadwal hidup kita serta menciptakan sejumlah kebutuhan. Hal  ini lah yang menjadikan pers/media itu menjadi penguasa keempat di Indonesia, setelah eksekutif, legislative dan yudikatif. Fungsi media sebagai pengontrol sosial masyarakat pun tidak benar-benar menjadi “pengontrol” seperti seharusnya tetapi “dikontrol” oleh tayangan atau informasi yang dihadirkan media.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang figur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8).
Pola pikir masyarakat itu sendiri juga mempengaruhi bagaimana dalam  menerima sebuah informasi dari media massa. Setiap individu berasal dari institusi formal  dan institusi sosial yang berbeda-beda, hal ini lah yang melatarbelakangi bagaimana seseorang menerima sebuah informasi. Bagi masyarakat awam (pendidikan lemah), informasi yang berasal dari media massa sangatlah mudah diterima begitu saja oleh kelompok ini, ini karena sifat media massa yang luas. Akibatnya banyak masyarakat yang dikontrol oleh penyajian media massa tanpa di saring terlebih dahulu dan fenomena ini mengacu pada teori jarum suntik (Hypodermic Needle Theory) yang dipelopori oleh Wilbur Schram. Konsep “institusi” dalam kajian media kadang-kadang tumpang tindih dengan konsep “industri” (Gill Branston dan Roy Stafford, 2003), yang pada dasarnya dapat dipisahkan. Konsep institusi berkaitan dengan ide-ide yang diambil dari sosiologi, psikologi, dan politik. Karenanya, aspek-aspek kelembagaan aktivitas media seringkali sulit dimengerti, karena berkait dengan proses dan hubungan yang kurang nyata dibanding lembaran-lembaran neraca perusahaan atau kontrak-kontrak pekerjaan. Di sinilah, letak perlunya aspek institusi dan industri dari sebuah media dikaji dan dipahami terlebih dahulu sebelum lebih jauh melakukan kajian media dari berbagai sudutnya.
·         Menajeman Media Massa Sebagai Institusi
O’Sullivan mengatakan, sebagaimana ditulis Gill Branston dan Roy Stafford, bahwa secara general institusi adalah pengaturan yang bersifat tetap dan struktur yang diorganisasikan dari satu masyarakat, sumber-sumber kode sosial utama, aturan dan hubungan, yang memaksa dan mengendalikan individu-individu dan kepribadiannya, berdasarkan prinsip dan nilai pokok yang ditekankan menurut praktek budaya dan sosial yang diorganisir dan dikoordinasikan (2003: 183).
Pada perkembangan di institusi media di Indonesia, aspek kepemilikan saham di media (kepemimpinan), ekonomi dan pemasaran media akan sangat menentukan ideologi yang diusung media, di mana ideologi tersbeut jika mengarah pada pendekatan ekonomi politik media akan memunculkan pelaku media yang kurang akrab dengan etika komunikasi. Etika komunikasi di sini ditempatkan hanya sebagai instrumen belaka dan menjadi kurang bermakna dalam menentukan isi program, kualitas program serta penghormatan pelaku media terhadap hak asasi manusia yang direpresentasikan pada individu sebagai sumber informasi. Pilihan ini menimbulkan etika komunikasi pada pelaku media dianggap sudah mengalami reduksi. Pelaku media sebagai profesi telah mengambil jalan pintas dengan mengacu asas manfaat lebih mengutamakan asas manfaat dalam peliputan dan pemberitaannya, yang sekaligus paradoks dengan etika profesi yang diembannya. Diperparah lagi ketiadaan penghormatan atas asas praduga tak bersalah atas nama demi kepentingan publik untuk memperoleh informasi, akan semakin menjadikan media massa dan pelaku media sebagai pribadi-pribadi yang dominan dalam merekonstruksi dan memanipulasi realitas sosial. Hingga di sini pilihan terhadap kecenderungan pemaknaan pendekatan ekonomi politik atau pendekatan etika, sebenarnya keduanya tidak memiliki implikasi hukum yang kentara, semuanya dikembalikan kepada masing-masing pribadi yang terlibat dalam aktivitas di institusi media massa. 
Dalam studi media, pendekatan organisasi dapat menjelaskan isi media. Mendekatan organisasi melihat bahwa pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita.dalam pendekatan ini, media dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada di dalam ruang redaksi. Praktik kerja, preofesionalisme dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsure-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Proses produksi berita adalah mekanisme keredaksian semata, di mana setiap organisasi  berita mempunyai pola dan mekanisme tersendiri untuk memberitakan suatu peristiwa
·         Menajeman Media Massa Sebagai Industri
Dalam media televisi, tingginya rating adalah ukuran keberhasilan. Sedangkan untuk surat kabar dan majalah, kriteria yang berlaku adalah jumlah pelanggan, yang pada gilirannya akan sangat menentukan daya tarik bagi pemasang iklan. Kekhasan yang seharusnya membentuk citra suatu media (media identity) ironisnya justru menyeret masuk ke suatu jebakan. Lebih tragisnya adalah yang sering tidak disadari adalah jebakan mimetisme. Keinginan media untuk memiliki tampilan yang khas yang tidak jarang justru menjerumuskan ke dalam keseragaman. Mimetisme media menunjukkan bagaimana penting/tidaknya pemberitaan sering ditentukan oleh sejauh mana media-media lain dipacu untuk meliputnya. Penentuan nilai pentingnya suatu pemberitaan seolah terletak pada sejauh mana dinginkan oleh media yang lain. Lingkup manuver yang seharusnya dibuka untuk mengolah kekhasannya (jati diri media), akhirnya jati diri itu tidak tercipta karena justru harus menyesuaikan diri (adaptasi) dengan gairah media-media lain. Bila tidak memberitakan apa yang diberitakan oleh media lain, ada semacam ketakutan ditinggalkan oleh pemirsa atau pembaca, selanjutnya yang dipertaruhkan adalah keuntungan ekonomi.
Demikian dalamnya pengaruh determinisme ekonomi dalam dunia media di Indonesia, sehngga hirarkisasi nilai ditentukan oleh konsumsi massa, sedangkan etika dan profesionalisme jurnalis seringkali dikalahkan. Sebagai saluran komunikasi politik dan atau sebagai institusi politik dalam banyak masa dan tempat, media dapat meraih posisi sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate). Tetapi, sebagai sebuah industri masalahnya menjadi lain. Peranannya sebagai sebagai kekuasaan keempat sewaktu-waktu “tercecer” ketika media harus tawar menawar dengan kekuatan pasar dan kekuasaan. Sebagai industri, media sangat terkait dengan fungsi bisnis yang acuannya lebih pada untung rugi yang dapat diraih dalam menyampaikan informasi. Karenanya, walaupun sulit dipisahkan antara aspek institusi dan industri dari sebuah media, tetapi dua aspek media tersebut, jelas punya batas-batas masing-masing.
REFERENSI
Politik Media Dan Pertarungan Wacana Oleh Agus Sudibyo (2001)
“Institusi Media Massa Dan Pengaruhnya Pada Masyarakat “ Oleh Abdul Pirol (2011)

“Hukum, profesi jurnalistik dan etika media massa”  oleh  prof. Dr. H. Abdul choliq dahlan, ma. (2011)

Kekuatan Media di Indonesia Manajemen, Institusi dan Industri


            Media massa disadari atau tidak, sesungguhnya hidup dalam menjalankan dua peran pentingnya. Peran tersebut diantaranya sebagai institusi dan sebagai industri. Kedua peran inilah yang mengarahkan media terjebak dalam orientasi yang pelaksanaannya tidaklah mudah. Media dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengimbangi orientasi-orientasi nya. Sebagai institusi, media harus berorientasi keluar dari kepentingan dirinya (outward looking) dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Sehingga kita sering mendengar bahwa media adalah ‘anjing penjaga masyarakat’ yang mengutamakan hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang berkualitas dan menstabilkan keadaan sosial di masyarakat. Sebagai industri, media memainkan perannya dengan sungguh ‘kreatif’. Ongkos media yang begitu besar mendorong media untuk melakukan strategi-strategi untuk meraup keuntungan demi keberlangsungan media itu sendiri. Proses produksi menggunakan modal yang tidak sedikit, ditambah lagi beban karyawan yang menumpang hidup dengan pendapatan media.
            Media  massa  kini  tidak  lagi  dianggap  sebagai entitas tunggal institusi masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, (1) Perubahan media  massa  yang  menjadi  industri;  (2)  Perubahan sistem politik yang turut mengubah kebijakan media; dan (3) Dorongan revolusi teknologi yang turut memengaruhi  pertumbuhan  dan  penyebarluasan  usaha media massa. (Formas dan Adde, 2014).Media yang berdiri untuk masyarakat kini merupakan ‘embel-embel’ agar masyarakat yang umumnya masih berpendidikan dibawah rata-rata merasa sedang dilindungi oleh media. Realitanya, masyarakatlah yang menjadi pangsa pasar yang diburu oleh media dalam menjalankan kepentingan komersialnya.
Peran media massa sebagai institusi sudah bisa dipastikan makin hari makin ‘melemah’. Media yang seharusnya bisa menenangkan konflik di masyarakat justru melebarkan konflik tersebut dengan menggembar-gemborkannya sehingga yang ditebarkan adalah kecemasan dan ketakutan. Konfliklah yang menjadi komoditas bagi media untuk melakukan agendanya agar masyarakat tidak berhenti untuk terus mengamati informasi tersebut. Pertarungan ideologi tidak henti-hentinya dihembuskan media yang dianggap sedang melakukan perannya sebagai institusi. Kemudian diperparah dengan makin melebarnya jurang antara pemerintah dan masyarakatnya yang tidak jarang juga sebagai akibat dari kebijakan media dalam menghembuskan isu-isu tertentu.
Bukan anggapan subjektif jika kita mengatakan bahwa media lebih dominan menjalankan fungsi manajemen dalam konteks media sebagai sebuah industri. Pada kenyataannya media mulai bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya khalayak setianya. Persaingan media pun menjadi sangat ketat, sementara media tidak hanya bisa hidup dari idealisme dan mengusung kepentingan publik, karenanya media harus memiliki basis ekonomi yang kuat. Untuk dapat bertahan, media melakukan kreativitas ekspansi. (Formas dan Adde, 2014). Hal ini yang menyebabkan media tidak lagi menyajikan informasi berdasarkan apa yang seharusnya masyarakat butuhkan, tetapi berdasarkan apa yang masyarakat inginkan. Pada media komersial biasanya yang lebih ditekankan adalah ‘apa yang bisa laku paling banyak atau apa yang tingkat penjualannya palin tinggi’. (Alfarabi, 2010).
Menurut  Mosco  (2009),  ada  tiga entry  pointdalam  kajian  ekonomi  politik  komunikasi  yaitu  komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.Komodifikasiberbicara tentang bagaimana upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini media mencoba melakukan upaya agar konten-konten yang diproduksi semenarik mungkin agar memiliki daya jual yang tinggi sehingga mendatangkan keuntungan besar. Spasialisasi berkaitan  dengan  sejauh  mana  media  mampu  menyajikanproduknya  di  depan  audiens  dalam  batasan  ruang dan waktu. Media dibatasi juga oleh logika waktu yang sangat sempit. Media harus bergerak dalam batasan waktu yang singkat untuk dapat menghadirkan konten yang bisa ‘dirindukan’ oleh khalayaknya. Strukturasi dijelaskan sebagai proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian  dari  struktur  mampu  bertindak  melayani  bagian yang lain. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara kerja struktur-struktur di dalam ataupun di luar media.
            Jika ditilik lebih dalam melalui Teori Ekonomi Politik Media, posisi media memang sungguhlah tidak mudah. Walaupun media berusaha keras untuk dapat berpihak kepada kepentingan masyarakat, namun nyatanya kepentingan yang mengarah pada keuntungan mendorong media tenggelam dalam agendanya untuk menciptakan pangsa pasar seluas-luasnya. Dalam pendekatan Teori Ekonomi Politik Media dapat dilihat  bahwa  faktor  produksi,  distribusi  dan  konsumsi media massa merupakan proses timbal balik yang terus menerus dialami oleh setiap pelaku dan organisasi media massa.Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya, media berusaha untuk melakukan manajamen konten yang lebih kreatif dan akan diekspansi. Kreativitas ekspansi dapat dilakukan oleh media dalam bentuk diversifikasi. Diversifikasi memiliki kaitan yang besar dengan hegemoni yang dilakukan oleh kaum-kaum pemilik modal untuk melebarkan sayap dalam memperluas usaha medianya. Para pemilik modal dengan mudah membeli perusahaan media yang mulai mengalami kesulitan modal, untuk kemudian dipulihkan kembali sehingga menjadi media yang lebih besar. Para pemilik modal bahkan tidak berfokus pada ekspansi bisnis di ranah media massa saja, namun juga di luar ranah media massa seperti mendirikan bisnis percetakan, perhotelan, pusat perbelanjaan, perbankan, hingga yang tidak biasa dengan membeli saham klub sepak bola kelas dunia. Seluruh usaha tersebut terintegrasi dalam satu usaha yang dimiliki oleh seorang pemilik modal. Dengan kekuatannya, pemilik modal berusaha mensinergikan usaha-usaha tersebut. Misalnya, Chairul Tanjung dengan CT Corp nya yang menguasai berbagai macam usaha mulai dari perkebunan, perbankan, media, hingga pusat perbelanjaan. Dalam sub bidang usaha misalnya media, pun terbagi lagi mulai dari media online, cetak hingga elektronik yang segmentasinya kemudian dibagi-bagi lagi mulai dari anak-anak hingga lansia.
Manajemen media massa merupakan hal yang sangat penting untuk mengawasi sebegitu luasnya usaha yang dimiliki oleh para elite pemilik modal yang telah terkorporasi dalam satu pintu. Pada kenyatannya, media di Indonesia telah menunjukkan kekuatannya dalam peran sebagai sebuah industri ketimbang peran media sebagai institusi yang murni berpegang teguh dengan kepentingan masyarakat. Logika waktu dan pasar menjadi pendorong media berorientasi lebih banyak dalam hal profitabilitas.

Daftar Pustaka

Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio. (2014). Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa, Jurnal Interaksi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Indonesia.
Mosco,  Vincent.  (2009). The  Political  Economy  of Communication.  London,  SAGE  Publications, Thousand Oaks.