Kamis, 24 Maret 2016

Kekuatan Media di Indonesia Manajemen, Institusi dan Industri


            Media massa disadari atau tidak, sesungguhnya hidup dalam menjalankan dua peran pentingnya. Peran tersebut diantaranya sebagai institusi dan sebagai industri. Kedua peran inilah yang mengarahkan media terjebak dalam orientasi yang pelaksanaannya tidaklah mudah. Media dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengimbangi orientasi-orientasi nya. Sebagai institusi, media harus berorientasi keluar dari kepentingan dirinya (outward looking) dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Sehingga kita sering mendengar bahwa media adalah ‘anjing penjaga masyarakat’ yang mengutamakan hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang berkualitas dan menstabilkan keadaan sosial di masyarakat. Sebagai industri, media memainkan perannya dengan sungguh ‘kreatif’. Ongkos media yang begitu besar mendorong media untuk melakukan strategi-strategi untuk meraup keuntungan demi keberlangsungan media itu sendiri. Proses produksi menggunakan modal yang tidak sedikit, ditambah lagi beban karyawan yang menumpang hidup dengan pendapatan media.
            Media  massa  kini  tidak  lagi  dianggap  sebagai entitas tunggal institusi masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, (1) Perubahan media  massa  yang  menjadi  industri;  (2)  Perubahan sistem politik yang turut mengubah kebijakan media; dan (3) Dorongan revolusi teknologi yang turut memengaruhi  pertumbuhan  dan  penyebarluasan  usaha media massa. (Formas dan Adde, 2014).Media yang berdiri untuk masyarakat kini merupakan ‘embel-embel’ agar masyarakat yang umumnya masih berpendidikan dibawah rata-rata merasa sedang dilindungi oleh media. Realitanya, masyarakatlah yang menjadi pangsa pasar yang diburu oleh media dalam menjalankan kepentingan komersialnya.
Peran media massa sebagai institusi sudah bisa dipastikan makin hari makin ‘melemah’. Media yang seharusnya bisa menenangkan konflik di masyarakat justru melebarkan konflik tersebut dengan menggembar-gemborkannya sehingga yang ditebarkan adalah kecemasan dan ketakutan. Konfliklah yang menjadi komoditas bagi media untuk melakukan agendanya agar masyarakat tidak berhenti untuk terus mengamati informasi tersebut. Pertarungan ideologi tidak henti-hentinya dihembuskan media yang dianggap sedang melakukan perannya sebagai institusi. Kemudian diperparah dengan makin melebarnya jurang antara pemerintah dan masyarakatnya yang tidak jarang juga sebagai akibat dari kebijakan media dalam menghembuskan isu-isu tertentu.
Bukan anggapan subjektif jika kita mengatakan bahwa media lebih dominan menjalankan fungsi manajemen dalam konteks media sebagai sebuah industri. Pada kenyataannya media mulai bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya khalayak setianya. Persaingan media pun menjadi sangat ketat, sementara media tidak hanya bisa hidup dari idealisme dan mengusung kepentingan publik, karenanya media harus memiliki basis ekonomi yang kuat. Untuk dapat bertahan, media melakukan kreativitas ekspansi. (Formas dan Adde, 2014). Hal ini yang menyebabkan media tidak lagi menyajikan informasi berdasarkan apa yang seharusnya masyarakat butuhkan, tetapi berdasarkan apa yang masyarakat inginkan. Pada media komersial biasanya yang lebih ditekankan adalah ‘apa yang bisa laku paling banyak atau apa yang tingkat penjualannya palin tinggi’. (Alfarabi, 2010).
Menurut  Mosco  (2009),  ada  tiga entry  pointdalam  kajian  ekonomi  politik  komunikasi  yaitu  komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.Komodifikasiberbicara tentang bagaimana upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini media mencoba melakukan upaya agar konten-konten yang diproduksi semenarik mungkin agar memiliki daya jual yang tinggi sehingga mendatangkan keuntungan besar. Spasialisasi berkaitan  dengan  sejauh  mana  media  mampu  menyajikanproduknya  di  depan  audiens  dalam  batasan  ruang dan waktu. Media dibatasi juga oleh logika waktu yang sangat sempit. Media harus bergerak dalam batasan waktu yang singkat untuk dapat menghadirkan konten yang bisa ‘dirindukan’ oleh khalayaknya. Strukturasi dijelaskan sebagai proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian  dari  struktur  mampu  bertindak  melayani  bagian yang lain. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara kerja struktur-struktur di dalam ataupun di luar media.
            Jika ditilik lebih dalam melalui Teori Ekonomi Politik Media, posisi media memang sungguhlah tidak mudah. Walaupun media berusaha keras untuk dapat berpihak kepada kepentingan masyarakat, namun nyatanya kepentingan yang mengarah pada keuntungan mendorong media tenggelam dalam agendanya untuk menciptakan pangsa pasar seluas-luasnya. Dalam pendekatan Teori Ekonomi Politik Media dapat dilihat  bahwa  faktor  produksi,  distribusi  dan  konsumsi media massa merupakan proses timbal balik yang terus menerus dialami oleh setiap pelaku dan organisasi media massa.Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya, media berusaha untuk melakukan manajamen konten yang lebih kreatif dan akan diekspansi. Kreativitas ekspansi dapat dilakukan oleh media dalam bentuk diversifikasi. Diversifikasi memiliki kaitan yang besar dengan hegemoni yang dilakukan oleh kaum-kaum pemilik modal untuk melebarkan sayap dalam memperluas usaha medianya. Para pemilik modal dengan mudah membeli perusahaan media yang mulai mengalami kesulitan modal, untuk kemudian dipulihkan kembali sehingga menjadi media yang lebih besar. Para pemilik modal bahkan tidak berfokus pada ekspansi bisnis di ranah media massa saja, namun juga di luar ranah media massa seperti mendirikan bisnis percetakan, perhotelan, pusat perbelanjaan, perbankan, hingga yang tidak biasa dengan membeli saham klub sepak bola kelas dunia. Seluruh usaha tersebut terintegrasi dalam satu usaha yang dimiliki oleh seorang pemilik modal. Dengan kekuatannya, pemilik modal berusaha mensinergikan usaha-usaha tersebut. Misalnya, Chairul Tanjung dengan CT Corp nya yang menguasai berbagai macam usaha mulai dari perkebunan, perbankan, media, hingga pusat perbelanjaan. Dalam sub bidang usaha misalnya media, pun terbagi lagi mulai dari media online, cetak hingga elektronik yang segmentasinya kemudian dibagi-bagi lagi mulai dari anak-anak hingga lansia.
Manajemen media massa merupakan hal yang sangat penting untuk mengawasi sebegitu luasnya usaha yang dimiliki oleh para elite pemilik modal yang telah terkorporasi dalam satu pintu. Pada kenyatannya, media di Indonesia telah menunjukkan kekuatannya dalam peran sebagai sebuah industri ketimbang peran media sebagai institusi yang murni berpegang teguh dengan kepentingan masyarakat. Logika waktu dan pasar menjadi pendorong media berorientasi lebih banyak dalam hal profitabilitas.

Daftar Pustaka

Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio. (2014). Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa, Jurnal Interaksi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Indonesia.
Mosco,  Vincent.  (2009). The  Political  Economy  of Communication.  London,  SAGE  Publications, Thousand Oaks.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar