Media massa disadari atau tidak,
sesungguhnya hidup dalam menjalankan dua peran pentingnya. Peran tersebut
diantaranya sebagai institusi dan sebagai industri. Kedua peran inilah yang
mengarahkan media terjebak dalam orientasi yang pelaksanaannya tidaklah mudah.
Media dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengimbangi orientasi-orientasi
nya. Sebagai institusi, media harus berorientasi keluar dari kepentingan
dirinya (outward looking) dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat. Sehingga kita sering mendengar bahwa media
adalah ‘anjing penjaga masyarakat’ yang mengutamakan hak masyarakat dalam
memperoleh informasi yang berkualitas dan menstabilkan keadaan sosial di
masyarakat. Sebagai industri, media memainkan perannya dengan sungguh
‘kreatif’. Ongkos media yang begitu besar mendorong media untuk melakukan
strategi-strategi untuk meraup keuntungan demi keberlangsungan media itu
sendiri. Proses produksi menggunakan modal yang tidak sedikit, ditambah lagi beban
karyawan yang menumpang hidup dengan pendapatan media.
Media massa
kini tidak lagi
dianggap sebagai entitas tunggal
institusi masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya,
(1) Perubahan media massa yang
menjadi industri; (2)
Perubahan sistem politik yang turut mengubah kebijakan media; dan (3)
Dorongan revolusi teknologi yang turut memengaruhi pertumbuhan
dan penyebarluasan usaha media massa. (Formas dan Adde, 2014).Media
yang berdiri untuk masyarakat kini merupakan ‘embel-embel’ agar masyarakat yang
umumnya masih berpendidikan dibawah rata-rata merasa sedang dilindungi oleh
media. Realitanya, masyarakatlah yang menjadi pangsa pasar yang diburu oleh
media dalam menjalankan kepentingan komersialnya.
Peran
media massa sebagai institusi sudah bisa dipastikan makin hari makin ‘melemah’.
Media yang seharusnya bisa menenangkan konflik di masyarakat justru melebarkan
konflik tersebut dengan menggembar-gemborkannya sehingga yang ditebarkan adalah
kecemasan dan ketakutan. Konfliklah yang menjadi komoditas bagi media untuk
melakukan agendanya agar masyarakat tidak berhenti untuk terus mengamati
informasi tersebut. Pertarungan ideologi tidak henti-hentinya dihembuskan media
yang dianggap sedang melakukan perannya sebagai institusi. Kemudian diperparah
dengan makin melebarnya jurang antara pemerintah dan masyarakatnya yang tidak
jarang juga sebagai akibat dari kebijakan media dalam menghembuskan isu-isu
tertentu.
Bukan
anggapan subjektif jika kita mengatakan bahwa media lebih dominan menjalankan
fungsi manajemen dalam konteks media sebagai sebuah industri. Pada kenyataannya
media mulai bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya khalayak setianya. Persaingan
media pun menjadi sangat ketat, sementara media tidak hanya bisa hidup dari
idealisme dan mengusung kepentingan publik, karenanya media harus memiliki
basis ekonomi yang kuat. Untuk dapat bertahan, media melakukan kreativitas
ekspansi. (Formas dan Adde, 2014). Hal ini yang menyebabkan media tidak lagi
menyajikan informasi berdasarkan apa yang seharusnya masyarakat butuhkan,
tetapi berdasarkan apa yang masyarakat inginkan. Pada media komersial biasanya
yang lebih ditekankan adalah ‘apa yang bisa laku paling banyak atau apa yang tingkat
penjualannya palin tinggi’. (Alfarabi, 2010).
Menurut Mosco (2009), ada
tiga entry pointdalam kajian
ekonomi politik komunikasi
yaitu komodifikasi, spasialisasi,
dan strukturasi.Komodifikasiberbicara
tentang bagaimana upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan
sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini media mencoba
melakukan upaya agar konten-konten yang diproduksi semenarik mungkin agar
memiliki daya jual yang tinggi sehingga mendatangkan keuntungan besar. Spasialisasi berkaitan dengan
sejauh mana media
mampu menyajikanproduknya di
depan audiens dalam
batasan ruang dan waktu. Media
dibatasi juga oleh logika waktu yang sangat sempit. Media harus bergerak dalam
batasan waktu yang singkat untuk dapat menghadirkan konten yang bisa
‘dirindukan’ oleh khalayaknya. Strukturasi
dijelaskan sebagai proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh
para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari
struktur mampu bertindak
melayani bagian yang lain. Hal
ini berkaitan dengan bagaimana cara kerja struktur-struktur di dalam ataupun di
luar media.
Jika ditilik lebih dalam melalui
Teori Ekonomi Politik Media, posisi media memang sungguhlah tidak mudah.
Walaupun media berusaha keras untuk dapat berpihak kepada kepentingan
masyarakat, namun nyatanya kepentingan yang mengarah pada keuntungan mendorong
media tenggelam dalam agendanya untuk menciptakan pangsa pasar seluas-luasnya. Dalam
pendekatan Teori Ekonomi Politik Media dapat dilihat bahwa
faktor produksi, distribusi
dan konsumsi media massa
merupakan proses timbal balik yang terus menerus dialami oleh setiap pelaku dan
organisasi media massa.Seperti disinggung dalam paragraf sebelumnya, media
berusaha untuk melakukan manajamen konten yang lebih kreatif dan akan
diekspansi. Kreativitas ekspansi dapat dilakukan oleh media dalam bentuk
diversifikasi. Diversifikasi memiliki kaitan yang besar dengan hegemoni yang
dilakukan oleh kaum-kaum pemilik modal untuk melebarkan sayap dalam memperluas
usaha medianya. Para pemilik modal dengan mudah membeli perusahaan media yang
mulai mengalami kesulitan modal, untuk kemudian dipulihkan kembali sehingga
menjadi media yang lebih besar. Para pemilik modal bahkan tidak berfokus pada
ekspansi bisnis di ranah media massa saja, namun juga di luar ranah media massa
seperti mendirikan bisnis percetakan, perhotelan, pusat perbelanjaan,
perbankan, hingga yang tidak biasa dengan membeli saham klub sepak bola kelas
dunia. Seluruh usaha tersebut terintegrasi dalam satu usaha yang dimiliki oleh
seorang pemilik modal. Dengan kekuatannya, pemilik modal berusaha mensinergikan
usaha-usaha tersebut. Misalnya, Chairul Tanjung dengan CT Corp nya yang
menguasai berbagai macam usaha mulai dari perkebunan, perbankan, media, hingga pusat
perbelanjaan. Dalam sub bidang usaha misalnya media, pun terbagi lagi mulai
dari media online, cetak hingga elektronik yang segmentasinya kemudian
dibagi-bagi lagi mulai dari anak-anak hingga lansia.
Manajemen
media massa merupakan hal yang sangat penting untuk mengawasi sebegitu luasnya
usaha yang dimiliki oleh para elite pemilik modal yang telah terkorporasi dalam
satu pintu. Pada kenyatannya, media di Indonesia telah menunjukkan kekuatannya
dalam peran sebagai sebuah industri ketimbang peran media sebagai institusi
yang murni berpegang teguh dengan kepentingan masyarakat. Logika waktu dan
pasar menjadi pendorong media berorientasi lebih banyak dalam hal
profitabilitas.
Daftar Pustaka
Formas
Juitan Lase dan Adde Oriza Rio. (2014). Ekonomi
dan Diversifikasi Media Massa, Jurnal Interaksi, Jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Kristen Indonesia.
Mosco, Vincent.
(2009). The Political
Economy of Communication. London,
SAGE Publications, Thousand Oaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar