Minggu, 02 April 2017

Profesi Wartawan



         Ketika berbicara mengenai wartawan, maka yang tergambar adalah aktivitas media massa. Media massa berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Banyak yang telah berubah dari wajah media di Indonesia, mulai dari lahirnya media-media yang lebih modern hingga reinkarnasi media yang menjelma menjadi wajah baru. Yang sebelumnya media hanya sebatas media cetak, lalu berkembang ke musim media elektronik dan pada akhirnya memunculkan media baru yaitu media online seperti kenyataan kehidupan media saat ini.
Terlebih kebebasan berpendapat menambah warna tersendiri dalam hilir mudik pemberitaan media. Pers bebas bertanggungjawab yang dianut oleh Indonesia menjadikan penguat tersendiri dalam penulisan berita yang diming-imingi pernyataan asalkan disertai dengan tanggungjawab ataupun dapat mempertanggungjawabkan apa yang dituliskan. Sehingga wartawan Indonesia menjadi bebas menulis apa saja yang berkaitan dengan kepentingan public. Selama tidak menyebarkan aib seseorang dan melampaui batas privasi dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik sebuah berita masih sah-sah saja untuk dimuat di media massa.
Jika diamati pada media kita yang ada, berbagai jenis berita dimuat. Baik yang bentuknya kritik kepada pemerintah yang pada masa awal perkembangan media massa Indonesia akan dilakukan pembredelan jika terjadi hal serupa. Media pada saat itu adalah alat pemerintah, juga sebagai alat propaganda. Menjunjug tinggi kepentingan pemerintah sehingga tidak ada istilah bebas bertanggungjawab saat itu. Saat ini, media di Indonesia bisa dikatakan bebas namun tanpa disertai dengan tanggungjawab. Mengapa? Karena bila diamati pada berita-berita yang ada terkadang wartawan melampaui batasan privasi yang seharusnya dijaga sesuai Kode Etik Jurnalistik pasal 9 yang berbunyi “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik”. Namun pada kenyataannya masih saja ada pelanggaran mengenai kode etik pasal 9 ini.
Istilah bebas bertanggungjawab sampai saat ini masih dengan kata bebas saja yang dijunjung belum sepenuhnya diikuti dengan tanggungjawab. Buktinya masih ramai pelanggaran yang menghiasi tulisan wartawan, seperti yang paling sering dilanggar adalah pasal 4 “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”. Pelanggaran ini sepertinya adalah magnet tersendiri bagi pembaca terutama pada berita sadis dan cabul. Sensor dan blur pun tidak berfungsi lagi pada berita ini. Bagaimana tidak sensor yang seharusnya menutupi bagian yang seharusnya tidak untuk diperlihatkan namun malah sebenarnya masih jelas dilihat. Jadi sensor untuk apa? Pada berita sadis yang seharusnya meghormati pembaca yang tidak bisa melihat hal-hal sadis seperti darah dan sebagainya juga luput dari sensor yang seharusnya. Jadi, sensor hanya formalitas agar pelanggaran menjadi tersamarkan.
Pada akhirnya berbuntut pada pelanggaran Kode Etika lainnya, seperti pasal 5 “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Jika blur dan sensor tidak dilakukan sesuai dengan yang seharusnya maka sama saja dengan menyiarkan identitas korban secara langsung tanpa harus dijelaskan pembaca akan dapat langsung mengetahui. Pada berita yang sifatnya cabul sudah jelas merupakan kasus susila, sehingga perangkat kerja media dituntut professional dalam melakukan sensor dan blur. Sehingga fungsi media sebagai perantara masyarakat pada informasi valid dan berkualitas menjadi tersampaikan. Bukan hanya media yang mendapat keuntungan namun secara tidak langsung masyarakat malah dirugikan terutama korban. Tanggungjawab yang dimaksud bukan hanya sekedar ketika salah menuliskan berita lalu memberi hak jawab kepada pihak yang keberatan, namun tanggungjawab yang dimaksud adalah bagaimana waratwan membawa serta selalu Kode Etik Jurnalistik dalam setiap langkahnya.
Ketika wartawan beraktivitas tidak ada yang bisa menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi  yang ia inginkan. Tapi, saat itu juga sebenarnya wartawan sedang diawasi. Bagaimana ia mendapatkan hingga akhirnya menuliskan dan pada akhirnya berita tersebut diterbitkan. Siapa yang mengawasi? Yaitu Kode Etik dan juga Undang-undang pers. Jika wartawan terlalu sering melakukan pelanggaran bukan tidak ada sanksi baginya. Ada, tentu saja melalui tahapan-tahapan. Dan batas waktu berapa kali pelanggaran telah dilakukan dan termasuk pelanggaran ringan, sedang, ataukah berat. Maka, hukum perdata telah siap menanti kedatangan sang pelanggar. Misalnya peringatan biasa, peringatan keras dan juga skorsing selama dua tahun yang diberikan oleh Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
            Jadi, tanggungjawab wartawan harus mampu menggandeng keutuhan Kode Etik Jurnalistik agar terciptanya media yang menjunjung tinggi kebenaran. Wartawan menggunakan cara professional dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik agar tidak adanya isilah “Wartawan Amplop”. Hingga pada akhirnya terciptanya keseimbangan dalam media, semua pihak mendapat porsi yang sama dalam media. Dan peran media juga sebaagai penengah, tidak memperkeruh isu yang sedang berkembang. Yang kesemua itu harus dimulai dengan professional dan tanggungjawab wartawan terhadap profesinya.
                     

Pengetahuan Wartawan Terhadap Kode Etik



         Kebebasan Pers merupakan salah satu bentuk terwujudnya hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 2 dan pasal 4.  Pada pasal 2 dikatakan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”, dan pasal 4 ayat 1 kembali menegaskan bahwa “kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.  Pers tidak pernah terlepas dari yang namanya wartawan. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers). Dengan UU tersebut, terealisasinya kebebasan seorang wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi saat ini seharusnya bisa berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan. Baik dan seusai yang diharapkan artinya adalah bahwa ditengah – tengah kebebasan/hak yang dimiliki, wartawan juga memiliki kewajiban yang harus dilakukan sebagai tanggungjawab dalam menjalankan profesinya.
       Tanggung jawab yang dimaksud disini merupakan tanggungjawab seorang wartawan kepada publik atas informasi apapun yang diberikan, sering disebut sebagai tanggungjawab sosial atau social responsibility. Frederick S Siebert (1963), dalam teori pers tanggungjawab sosial mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab sosial, diatasi oleh dasar moral dan hati nurani. UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, telah mengakomodasi teori pers tanggung jawab sosial ini, antara lain: Pasal 3 (1) ”Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.
         Ada dua sisi yang terjadi dalam kegiatan pers saat ini yaitu pertama, ada wartawan yang dengan bebas menggunakan haknya melakukan tugas sebagai seorang jurnalis tanpa memeperhatikan kewajibannya dan sisi lainnya adalah wartawan yang tidak sepenuhnya menggunakan hak dalam melakukan tugasnya sebagai seorang jurnalis karena harus mematuhi keinginan dari pemilik perusahaan pers tempat ia bekerja. Contoh dari sisi kegiatan pers yang pertama adalah banyaknya wartawan dengan bebas memanfaatkan kartu pers yang dimilikinya untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (dapat dilihat dari judul, gambar yang ditampilkan serta isi dari informasi/berita) tanpa memperhatikan kewajibannya sebagai seorang wartawan yang seharusnya memberi informasi yang mendidik (biasanya banyak terdapat pada berita online dan beberapa koran lokal). Contoh sisi lain dari kegiatan pers adalah banyaknya berita wartawan yang dikemas sedemikian oleh media tempat ia bekerja sesuai idealisme dan kepentingan pemilik perusahaan pers tersebut (biasanya berita yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik) sehingga objektivitas informasi/berita tersebut perlu dipertanyakan. Dari dua sisi diatas menunjukkan bahwa baik wartawan maupun media sudah melupakan tanggung jawab sebagai peran media publik untuk mendapatkan informasi dan saluran komunikasi yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan ketidakberpihakan pada kelompok tertentu. Semua orang, hampir dari seluruh kalangan masyarakat secara seragam sering mengatakan bahwa wartawan atau media di Indonesia sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang prinsip kebebasan pers.
         Salah satu faktor mengapa hal ini terjadi adalah banyaknya orang yang beralih profesi menjadi seorang jurnalis (tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnais). Padahal wartawan adalah sebuah profesi dimana seorang wartawan harus berasal dari orang yang berkompetensi di bidangnya. data Dewan Pers menyebutkan, dari sekitar 30 ribu jurnalis di Indonesia hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi jurnalis professional. Begitu pula hasil survei yang dilakukan AJI, hanya 20 persen wartawan pernah membaca kode etik dan Undang-Undang Pers. Kurangnya pemahaman yang dimiliki oleh wartawan mengenai hak dan kewajibannya karena tidak mengatahui isi dari UU No. 40 Tahun tentang Pers  dan Kode Etik Jurnalistik membuat wartawan tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka membuat berita. Oleh sebab itu, pentingnya pengetahuan serta pemahaman mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki dan harus dilakukan oleh seorang wartawan (terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 199 tentang Pers), agar profesionalisme seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya berjalan dengan baik. Hal ini diharapkan juga agar fungsi pers sebagai media informasi, pendidik, dan kontrol sosial dapat terealisasikan dengan baik.

KODE ETIK DAN TANGGUNG JAWAB WARTAWAN



Perkembangan  teknologi  yang  semakin  pesat  saat  ini  mempengarui  keberadaan dan  eksistensi media massa cetak maupun elektronik. Dalam pemberitaan pada media massa yang di beritakan lewat media baik Koran maupun televisi dan online sering memberikan informasi kepada khalayak luas. Namun banyak kita jumpai saat ini wartawan bukan lagi mementingkan isi dari pada berita tersebut namun lebih pada kecepatan dan waktu berita serta mementingkan reting dan banyaknya orang yang membaca terkhusus pada pemberitaan online dan media cetak Koran. Hampir banyak di temukan berita berita yang diberitakan tidak pantas di tampilkan karena melanggar kode etik jurnalistik. Wartawan saat ini  memberikan berita dengan conten dalam penampilannya tidak layak untuk dipublikasikan dan tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Wartawan menapilkan gambar seta menggunakan kata kata yang tidak pantas untuk di baca. Hal ini sangat berpengaruhi khalayak luas. Pada khasus seperti biasaya wartaan ada yang sengaja memberikan atau menampilkan gambar dalam berita yang tidak pantas. Hal ini guna menarik perhatian pembaca. Namun wartawan tidak bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Pers bebas bertanggungjawab, seharusnya wartawan dapat bertanggung jawab dengan apa yang ia beritakan.
            Pemberitan dengan koonten sama namun penampilan yang berbeda, penampilan inilah yang di gunakan pada media massa untuk menarikperhtian khalayak. Namaun cara nya yang sering melnggar kode etik. Seperti menampilkan gambar yang porno atau menampilkan gambar yang belum di edit ketika berita kecelakaan dan sering juga kata yang digunakan oleh wartawan yang kurang baik jika di artikan. Seharusnya  wartawan dapat bertanggung jawab dengan apa yang ia tampilkan pada berita, bebas namun tetap harus berpedoman pada kode etik jurnalistik yang ada. Karena jika wartawan sudah berpedoman pada kode etik jurnalistik maka akan tercipta berita yang baik dan tidak berpengaruh buruk bagi yang membaca.

Rabu, 22 Maret 2017

Mempertanyakan Keberimbangan dalam Media Massa



Perkembangan media masa, keberimbangan menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh wartawan dalam menulis berita. Karena sejatinya wartawan tujuannya adalah menyampaikan fakta kepada masyarakat, bukan menyampaikan fakta yang diopinikan. Keberimbangan menjadi sulit dilakukan karena media menjalankan tugas dan fungsi dalam tekanan. Artinya ada tokoh yang mengendalikan media tersebut, bisa disebut pihak penguasa entah itu tokoh politik, pengusaha, investor dan lain-lain. Ketidakberimbangan pemberitaan dalam media tidak hanya merugikan pihak-pihak yang tidak memperoleh ruang dan waktu yang sama dalam kalimat pemebritaan. Namun juga memberi pengaruh dan mengubah opini masyarakat kepada pihak-pihak yang diberitakan. Ketidakberimbangan biasanya karena adanya kepentingan pribadi media dan bisa juga karena kepentingan tokoh politik sebut saja. Ketika opini masyarakat terbentuk maka akan terjadi anggapan-anggapan yang biasanya bertolak belakang dari kenyataan dan tentu saja  merugikan pihak yang pemberitaannya tidak sesuai, juga menguntungkan pihak yang pemberitaannya telah dipoles sedemikian rupa guna memperoleh simpati masyarakat.

“Cabulisme” Teks Media



            Kemajuan teknologi pada saat ini sudah di bilang sangat pesat, terbukti dengan adanya banyak media massa ataupun media sosial yang kita jumpai. Hampir di semua media menyuguhkan berita dan informasi. Kini banyak kita jumapai berita yang asal dan langsung di publicasikan tanpa melihat pantas dan layak kah berita tersebut di terbitkan. Baik media massa cetak maupun online. Sering kali wartawan hanya mengutamakan waktu dan kecepatan berita tersebut di sebarkan tanpa melihat kembali sesuai kah dengan kode etik jurnalistik, yang seharusnya menjadi pedoman sebagai acuan dalam penulisan sebuah  berita.
Namun tidak bisa di pungkiri saat ini berita berita yang ada di media massa cetak dan online sering sekali di jumpai berita yang seharusnya tidak di tampilkan pada publik. Seperti berita yang porno yang di suguhkan dengan adanya gambar yang porno. berita yang seperti ini  yang dapat membuat khalayak terpengaruh. Gambar serta kata kata dalam penyampaikan berita tersebut. Seperti kata cabul dan gagahi yang sering ada pada sebuah berita, hal ini dapat membuat pikiran khalayak yang mengarah negatif. Seharusnya wartawan dapat menggunakan kata dan bahasa yang baik dan bener sesuai dengan bahasa Indonesia jurnalistik.
Contohnya saja kasus pemerkosaan, penulisan judul berita dengan gaya bahasa terlihat begitu mencolok di teras depan Koran ataupun Headline dengan tata layout penulisan huruf yang memiliki ukuran hampir sama besar dengan foto, secara tidak langsung dapat di baca berbagai khalayak yang membaca. Banyak di jumpai pada media massa cetak koran terutama pada koran local. Media lokal acapkali menjadikan kasus pemerkosaan atau khasus yang berhubungan dengan pornografi sebagai headline pada koran tersebut.
Kode etik jurnalistik menjelaskan pada pasal 4 bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, dan cabul. Namun pada saat ini masih banyak wartwan yang membuat berita yang jauh dari kode etik tersebut.  Berita berita yang saat ini beredar pada media massa cetak maupun ektronik masih jauh dari kata berpedoman pada kode etik jurnalistik.
Dalam isi pemberitaannya pun menggunakan kata yang sadis, dalam penceritaan alurnya wartawan tidak menggunakan bahasa Indonesia jurnalistik yang baik. Hal ini dapat membuat khalayak yang membaca terpengaruh dengan apa yang ia baca. Di dalam berita acapkali  wartawan juga menyebutkan identitas korban. Padahal sudah di jelaskan pada kode etik jurnalistik pasal  5 yang berbunyi “wartawan tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku”.  Namun masih banyak wartawan yang melanggar kode etik jurnalistik tersebut. Seharusnya kode etik jurnaalistik dapat menjaadi pedoman para wartawan dalam menulis berita, agar tercipta berita yang memiliki bahasa yang baik dan benar. Saat ini masih banyak insan pers yang masih belum tunduk pada kode etik jurnalistik.