Ketika berbicara mengenai wartawan, maka yang tergambar adalah
aktivitas media massa. Media massa berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. Banyak yang telah berubah dari wajah media di Indonesia, mulai dari
lahirnya media-media yang lebih modern hingga reinkarnasi media yang menjelma
menjadi wajah baru. Yang sebelumnya media hanya sebatas media cetak, lalu
berkembang ke musim media elektronik dan pada akhirnya memunculkan media baru
yaitu media online seperti kenyataan kehidupan media saat ini.
Terlebih kebebasan berpendapat
menambah warna tersendiri dalam hilir mudik pemberitaan media. Pers bebas
bertanggungjawab yang dianut oleh Indonesia menjadikan penguat tersendiri dalam
penulisan berita yang diming-imingi pernyataan asalkan disertai dengan
tanggungjawab ataupun dapat mempertanggungjawabkan apa yang dituliskan.
Sehingga wartawan Indonesia menjadi bebas menulis apa saja yang berkaitan
dengan kepentingan public. Selama tidak menyebarkan aib seseorang dan melampaui
batas privasi dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik sebuah berita masih
sah-sah saja untuk dimuat di media massa.
Jika diamati pada media kita yang
ada, berbagai jenis berita dimuat. Baik yang bentuknya kritik kepada pemerintah
yang pada masa awal perkembangan media massa Indonesia akan dilakukan
pembredelan jika terjadi hal serupa. Media pada saat itu adalah alat
pemerintah, juga sebagai alat propaganda. Menjunjug tinggi kepentingan pemerintah
sehingga tidak ada istilah bebas bertanggungjawab saat itu. Saat ini, media di
Indonesia bisa dikatakan bebas namun tanpa disertai dengan tanggungjawab.
Mengapa? Karena bila diamati pada berita-berita yang ada terkadang wartawan
melampaui batasan privasi yang seharusnya dijaga sesuai Kode Etik Jurnalistik
pasal 9 yang berbunyi “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang
kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik”. Namun pada
kenyataannya masih saja ada pelanggaran mengenai kode etik pasal 9 ini.
Istilah bebas bertanggungjawab
sampai saat ini masih dengan kata bebas saja yang dijunjung belum sepenuhnya
diikuti dengan tanggungjawab. Buktinya masih ramai pelanggaran yang menghiasi
tulisan wartawan, seperti yang paling sering dilanggar adalah pasal 4 “Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”. Pelanggaran
ini sepertinya adalah magnet tersendiri bagi pembaca terutama pada berita sadis
dan cabul. Sensor dan blur pun tidak berfungsi lagi pada berita ini. Bagaimana
tidak sensor yang seharusnya menutupi bagian yang seharusnya tidak untuk
diperlihatkan namun malah sebenarnya masih jelas dilihat. Jadi sensor untuk
apa? Pada berita sadis yang seharusnya meghormati pembaca yang tidak bisa
melihat hal-hal sadis seperti darah dan sebagainya juga luput dari sensor yang
seharusnya. Jadi, sensor hanya formalitas agar pelanggaran menjadi tersamarkan.
Pada akhirnya berbuntut pada
pelanggaran Kode Etika lainnya, seperti pasal 5 “Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Jika blur dan sensor
tidak dilakukan sesuai dengan yang seharusnya maka sama saja dengan menyiarkan
identitas korban secara langsung tanpa harus dijelaskan pembaca akan dapat
langsung mengetahui. Pada berita yang sifatnya cabul sudah jelas merupakan
kasus susila, sehingga perangkat kerja media dituntut professional dalam
melakukan sensor dan blur. Sehingga fungsi media sebagai perantara masyarakat
pada informasi valid dan berkualitas menjadi tersampaikan. Bukan hanya media
yang mendapat keuntungan namun secara tidak langsung masyarakat malah dirugikan
terutama korban. Tanggungjawab yang dimaksud bukan hanya sekedar ketika salah
menuliskan berita lalu memberi hak jawab kepada pihak yang keberatan, namun
tanggungjawab yang dimaksud adalah bagaimana waratwan membawa serta selalu Kode
Etik Jurnalistik dalam setiap langkahnya.
Ketika wartawan beraktivitas tidak
ada yang bisa menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi yang ia inginkan. Tapi, saat itu juga
sebenarnya wartawan sedang diawasi. Bagaimana ia mendapatkan hingga akhirnya
menuliskan dan pada akhirnya berita tersebut diterbitkan. Siapa yang mengawasi?
Yaitu Kode Etik dan juga Undang-undang pers. Jika wartawan terlalu sering
melakukan pelanggaran bukan tidak ada sanksi baginya. Ada, tentu saja melalui
tahapan-tahapan. Dan batas waktu berapa kali pelanggaran telah dilakukan dan
termasuk pelanggaran ringan, sedang, ataukah berat. Maka, hukum perdata telah
siap menanti kedatangan sang pelanggar. Misalnya peringatan biasa, peringatan
keras dan juga skorsing selama dua tahun yang diberikan oleh Dewan Kehormatan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Jadi, tanggungjawab
wartawan harus mampu menggandeng keutuhan Kode Etik Jurnalistik agar
terciptanya media yang menjunjung tinggi kebenaran. Wartawan menggunakan cara
professional dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik agar tidak adanya
isilah “Wartawan Amplop”. Hingga pada akhirnya terciptanya keseimbangan dalam
media, semua pihak mendapat porsi yang sama dalam media. Dan peran media juga
sebaagai penengah, tidak memperkeruh isu yang sedang berkembang. Yang kesemua
itu harus dimulai dengan professional dan tanggungjawab wartawan terhadap profesinya.