Kebebasan Pers merupakan salah satu
bentuk terwujudnya hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers pasal 2 dan pasal 4. Pada
pasal 2 dikatakan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”,
dan pasal 4 ayat 1 kembali menegaskan bahwa “kebebasan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara”. Pers tidak pernah
terlepas dari yang namanya wartawan. Wartawan adalah orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers). Dengan
UU tersebut, terealisasinya kebebasan seorang wartawan dalam melaksanakan
kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi saat ini seharusnya bisa berjalan dengan
baik dan sesuai yang diharapkan. Baik dan seusai yang diharapkan artinya adalah
bahwa ditengah – tengah kebebasan/hak yang dimiliki, wartawan juga memiliki
kewajiban yang harus dilakukan sebagai tanggungjawab dalam menjalankan
profesinya.
Tanggung jawab yang dimaksud disini merupakan tanggungjawab seorang
wartawan kepada publik atas informasi apapun yang diberikan, sering disebut
sebagai tanggungjawab sosial atau social responsibility. Frederick S
Siebert (1963), dalam teori pers tanggungjawab sosial mengemukakan bahwa
kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab sosial, diatasi oleh dasar
moral dan hati nurani. UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, telah mengakomodasi
teori pers tanggung jawab sosial ini, antara lain: Pasal 3 (1) ”Pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial”.Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan
bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan,
gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.
Ada dua sisi yang terjadi dalam
kegiatan pers saat ini yaitu pertama, ada wartawan yang dengan bebas menggunakan
haknya melakukan tugas sebagai seorang jurnalis tanpa memeperhatikan
kewajibannya dan sisi lainnya adalah wartawan yang tidak sepenuhnya menggunakan
hak dalam melakukan tugasnya sebagai seorang jurnalis karena harus mematuhi
keinginan dari pemilik perusahaan pers tempat ia bekerja. Contoh dari sisi
kegiatan pers yang pertama adalah banyaknya wartawan dengan bebas memanfaatkan
kartu pers yang dimilikinya untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi
(dapat dilihat dari judul, gambar yang ditampilkan serta isi dari
informasi/berita) tanpa memperhatikan kewajibannya sebagai seorang wartawan yang
seharusnya memberi informasi yang mendidik (biasanya banyak terdapat pada
berita online dan beberapa koran lokal). Contoh sisi lain dari kegiatan pers
adalah banyaknya berita wartawan yang dikemas sedemikian oleh media tempat ia
bekerja sesuai idealisme dan kepentingan pemilik perusahaan pers tersebut
(biasanya berita yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik) sehingga
objektivitas informasi/berita tersebut perlu dipertanyakan. Dari dua sisi
diatas menunjukkan bahwa baik wartawan maupun media sudah melupakan tanggung jawab sebagai peran media publik untuk
mendapatkan informasi dan saluran komunikasi yang menjunjung nilai-nilai
keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan ketidakberpihakan pada kelompok
tertentu. Semua orang, hampir dari seluruh kalangan masyarakat secara seragam
sering mengatakan bahwa wartawan atau media di
Indonesia sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang
prinsip kebebasan pers.
Salah satu faktor mengapa hal ini
terjadi adalah banyaknya orang yang beralih profesi menjadi seorang jurnalis
(tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnais). Padahal
wartawan adalah sebuah profesi dimana seorang wartawan harus berasal dari orang
yang berkompetensi di bidangnya. data Dewan Pers menyebutkan, dari sekitar 30
ribu jurnalis di Indonesia hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi
jurnalis professional. Begitu pula hasil survei yang dilakukan AJI, hanya 20
persen wartawan pernah membaca kode etik dan Undang-Undang Pers. Kurangnya pemahaman yang dimiliki oleh
wartawan mengenai hak dan kewajibannya karena tidak mengatahui isi dari UU No.
40 Tahun tentang Pers dan Kode Etik
Jurnalistik membuat wartawan tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka
membuat berita. Oleh
sebab itu, pentingnya pengetahuan serta pemahaman mengenai hak dan kewajiban
yang dimiliki dan harus dilakukan oleh seorang wartawan (terdapat dalam Kode
Etik Jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 199 tentang Pers), agar profesionalisme
seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya berjalan dengan baik. Hal ini
diharapkan juga agar fungsi pers sebagai media informasi, pendidik, dan kontrol
sosial dapat terealisasikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar