Minggu, 02 April 2017

Pengetahuan Wartawan Terhadap Kode Etik



         Kebebasan Pers merupakan salah satu bentuk terwujudnya hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 2 dan pasal 4.  Pada pasal 2 dikatakan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”, dan pasal 4 ayat 1 kembali menegaskan bahwa “kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.  Pers tidak pernah terlepas dari yang namanya wartawan. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers). Dengan UU tersebut, terealisasinya kebebasan seorang wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi saat ini seharusnya bisa berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan. Baik dan seusai yang diharapkan artinya adalah bahwa ditengah – tengah kebebasan/hak yang dimiliki, wartawan juga memiliki kewajiban yang harus dilakukan sebagai tanggungjawab dalam menjalankan profesinya.
       Tanggung jawab yang dimaksud disini merupakan tanggungjawab seorang wartawan kepada publik atas informasi apapun yang diberikan, sering disebut sebagai tanggungjawab sosial atau social responsibility. Frederick S Siebert (1963), dalam teori pers tanggungjawab sosial mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab sosial, diatasi oleh dasar moral dan hati nurani. UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, telah mengakomodasi teori pers tanggung jawab sosial ini, antara lain: Pasal 3 (1) ”Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.
         Ada dua sisi yang terjadi dalam kegiatan pers saat ini yaitu pertama, ada wartawan yang dengan bebas menggunakan haknya melakukan tugas sebagai seorang jurnalis tanpa memeperhatikan kewajibannya dan sisi lainnya adalah wartawan yang tidak sepenuhnya menggunakan hak dalam melakukan tugasnya sebagai seorang jurnalis karena harus mematuhi keinginan dari pemilik perusahaan pers tempat ia bekerja. Contoh dari sisi kegiatan pers yang pertama adalah banyaknya wartawan dengan bebas memanfaatkan kartu pers yang dimilikinya untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (dapat dilihat dari judul, gambar yang ditampilkan serta isi dari informasi/berita) tanpa memperhatikan kewajibannya sebagai seorang wartawan yang seharusnya memberi informasi yang mendidik (biasanya banyak terdapat pada berita online dan beberapa koran lokal). Contoh sisi lain dari kegiatan pers adalah banyaknya berita wartawan yang dikemas sedemikian oleh media tempat ia bekerja sesuai idealisme dan kepentingan pemilik perusahaan pers tersebut (biasanya berita yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik) sehingga objektivitas informasi/berita tersebut perlu dipertanyakan. Dari dua sisi diatas menunjukkan bahwa baik wartawan maupun media sudah melupakan tanggung jawab sebagai peran media publik untuk mendapatkan informasi dan saluran komunikasi yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan ketidakberpihakan pada kelompok tertentu. Semua orang, hampir dari seluruh kalangan masyarakat secara seragam sering mengatakan bahwa wartawan atau media di Indonesia sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang prinsip kebebasan pers.
         Salah satu faktor mengapa hal ini terjadi adalah banyaknya orang yang beralih profesi menjadi seorang jurnalis (tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnais). Padahal wartawan adalah sebuah profesi dimana seorang wartawan harus berasal dari orang yang berkompetensi di bidangnya. data Dewan Pers menyebutkan, dari sekitar 30 ribu jurnalis di Indonesia hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi jurnalis professional. Begitu pula hasil survei yang dilakukan AJI, hanya 20 persen wartawan pernah membaca kode etik dan Undang-Undang Pers. Kurangnya pemahaman yang dimiliki oleh wartawan mengenai hak dan kewajibannya karena tidak mengatahui isi dari UU No. 40 Tahun tentang Pers  dan Kode Etik Jurnalistik membuat wartawan tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka membuat berita. Oleh sebab itu, pentingnya pengetahuan serta pemahaman mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki dan harus dilakukan oleh seorang wartawan (terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 199 tentang Pers), agar profesionalisme seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya berjalan dengan baik. Hal ini diharapkan juga agar fungsi pers sebagai media informasi, pendidik, dan kontrol sosial dapat terealisasikan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar