Pada era perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini seringkali memunculkan berbagai dampak pola perilaku seseorang dalam mencari kebutuhan akan informasi. Informasi yang tersedia bahkan melimpah ruah. Ledakan informasi ada dimana-mana. Banyaknya informasi membuat seseorang seringkali kesulitan dalam menemukan media yang relevan dengan kebutuhan informasinya. Ditinjau dari sudut pandang dunia kepustakawan dan perpustakaan, informasi adalah suatu rekaman fenomena yang diamati,atau bisa juga berupa putusan-putusan yang dibuat seseorang. Sebuah fenomena akan menjadi informasi jika ada yang melihatnya atau menyaksikannya atau bahkan mungkin merekamnya. Hasil kesaksian atau rekaman dari orang yang melihat atau menyaksikan peristiwa atau fenomena itulah yang dimaksud informasi (Yusup, 2009). Jadi dalam hal ini informasi lebih bermakna berita.
Pers sebagai salah satu media informasi dapat memberikan pencerahan akan informasi yang beredar. Kredibilitas informasi yang dikeluarkan ke publik dan transparansi informasi yang masih menjadi persoalan hingga detik ini menyebabkan informasi yang beredar kurang terkontrol bahkan seringkali masyarakat mempercayai informasi yang belum tentu pasti kebenarannya. Peran dan fungsi pers akhir-akhir ini menjadi hal yang dipertanyakan publik dengan hadirnya fenomena fake news dan hate speech. Kaidah riset data dalam pemberitaan akhir-akhir ini lebih mementingkan keaktualitasan berita daripada kredibilitas sebuah informasi. Kecenderungan munculnya pergeseran tersebut ditandai sebagai ekses dari perkembangan media online. Hal tersebut dapat diminimalisir jika jurnalis berpedoman kepada ketentuan yang merujuk kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yaitu himpunan atau kumpulan mengenai etika di bidang jurnalistik, yang dibuat oleh, dari dan untuk para jurnalis (Sukardi, 2008). Kode Etik Jurnalistik merupakan kesepakatan antara organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Dari hal tersebut, dapat dikaji bagaimana perilaku informasi yang dimiliki seorang Jurnalis yang seharusnya memiliki kompetensi dalam menulis sebuah informasi untuk disebarluaskan ke masyarakat dapat mempertanggungjawabkan berita yang diangkat ke publik dan menjadi lembaga yang mempelopori perlawanan anti berita palsu atau fake news. Dalam hal ini, peran organisasi pers sangat penting untuk melakukan penanganan dalam mengakomodir fake news dan hate speech yang beredar dengan memberikan pemahaman yang baik dan benar sesuai kaidah jurnalistik kepada setiap anggota di dalamnya. (Fatma Khosiah, Yuli Rohmiyati. Kontrol Informasi Publik terhadap Fake News dan Hate Speech oleh Aliansi Jurnalis Independen, ANUVA Volume 3 (3): 291-302, 2019 Copyright ©2019, ISSN: 2598-3040 online Available Online at: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/anuva).
Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.
a. Jenis-jenis Informasi Hoaks :3
1. Fake news: Berita bohong : Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
2. Clickbait : Tautan jebakan: Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.
3. Bias konfirmasi : Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.
4. Misinformation : Informasi yang salah atau tidak akurat, terutama yang ditujukan untuk menipu
5. Satire : Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.
6. Post-truth atau Pasca-kebenaran : Kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.
7. Propaganda : Aktifitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik. (Dedi Rianto Rahadi, perilaku penggunaan dan informasi hoax di media social, jurnal manajemen & kewiraushaan Volume 5, Nomor 1, JMDK, Malang, 2017, hal. 62.)
Wisnu Prasetya Utomo, peneliti dari Remotivi, menyatakan bahwa kabar bohong itu tak bisa diredakan. “Efek dari informasi palsu yang sudah menjadi viral ini sudah sulit dicegah. Hal semacam ini semakin sering terjadi terutama menyangkut isu-isu sensitif seperti agama dan politik,” tulisnya. Wisnu menyebut, fenomena tsunami berita atau informasi palsu bukan hal baru. Ia telah menjadi industri itu sendiri dan jadi tambang uang. Hal paling berbahaya dari menyebarnya berita palsu atau satire yang dipercaya adalah menurunnya kepercayaan terhadap institusi jurnalisme. Selain itu, lanjut Wisnu hoax, atau fenomena terbaru yang disebut post-truth, dapat mendorong orang melakukan kejahatan. Post-truth adalah kondisi ketika fakta obyektif atau kebenaran tak lagi relevan bagi pembaca, pendengar, atau pemirsa berita dalam membentuk opini publik ketimbang emosi dan keyakinan pribadi sendiri. Artinya, seseorang menolak atau menerima kebenaran berita berdasarkan selera. Wisnu berpendapat, jika ini diteruskan maka bisa berdampak sangat buruk bagi masyarakat. “Media punya peran penting dalam menghadapi bahaya berita-berita palsu ini, bukan justru menjadi ruang untuk mengamplifikasi kebohongan tersebut,” tulisnya. (baca di artikel "Membedakan Jurnalisme dan Berita Palsu", https://tirto.id/b9WP).
Nezar Patria dari Dewan Pers Indonesia menyebut bahwa verifikasi adalah kunci penting yang membangun kredibilitas produk jurnalistik. “Jurnalisme mengutamakan akurasi dan bertujuan melaporkan fakta sebenar-benarnya,” katanya. Verifikasi adalah metode jurnalisme untuk meyakinkan dirinya bahwa informasi yang diterima itu benar, tanpa menambahkan atau mengurangi, dan sesuai fakta, sebelum kemudian melakukan tahap selanjutnya: cek dan ricek serta konfirmasi. Nezar menyatakan media-media penyebar hoax, berita palsu, satire dan propaganda bukanlah produk jurnalistik. “Dalam propaganda, kebenaran fakta bukanlah hal pokok, dan tujuannya bukan menyampaikan informasi 'apa adanya' seperti halnya jurnalisme,” katanya. Propaganda mementingkan daya persuasi, meyakinkan orang lain dengan tujuan tertentu, dan mengharapkan si penerima punya pemahaman sejalan dengan si pengirim pesan. “Satire juga bukan jurnalisme. Ia semacam gaya ungkap yang mungkin dekat dengan cara penulisan artikel bebas. Fakta kadang diplesetkan di sana,” kata Nezar memperingatkan. Untuk itu dia meminta para jurnalis dan penulis yang bekerja di media jurnalistik mengembalikan fungsi media sebagai “rumah penyaring informasi.” Ia membersihkan informasi dari fitnah atau hoax, menjelaskan kepada publik apa yang sebetulnya terjadi. “Tanpa komitmen terhadap jurnalisme yang berdisiplin, maka kita akan menghadapi krisis tentang realitas yang benar, dan ini tentu saja mengacaukan kehidupan manusia,” ujar Nezar.
Nama : Azizah Indah Rofifah
BalasHapusNPM : D1C020013
Setelah saya baca blog tersebut, saya jadi memahami apa itu produk jurnalistik. Dan pembahasan tersebut berkaitan dalam pembelajaran yang akan dipelajari. Sangat bermanfaat. Terimakasih
Nama:Apriani
BalasHapusNpm:D1C020024
Prodi:Jurnalistik B
Menurut pendapat dati saya media sosial dipakai hampir semua pengguna telepon pintar, entah masyarakat umum hingga pejabat negara. digitalisasi media komunikasi telah membuat setiap individu menjadi produsen berita.Semua main media sosial, ada yang senang twitter, facebook, instagram, path. Semua gandrung media sosial.Setiap saat di media sosial terjadi kebanjiran berita, ada yang obyektif, baik, tetapi banyak juga yang bohong, membuat gaduh, penuh caci maki, bahkan mengancam persatuan bangsa.Media sosial tidak lagi hanya sebagai media untuk menyampaikan status, pertemanan, atau berbagi untuk silaturahmi, dan menyampaikan kenangan tetapi berubah menjadi penyebarluasan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya.Apalagi "hoax" tidak hanya menyebarkan kebohongan tetapi juga menebar kebencian, fitnah, dan ketidakpercayaan, termasuk kepada lembaga publik.
"Hoax" dibuat dalam situs-situs yang seolah-olah situs berita lalu disebarluaskan ke berbagai media sosial.Oleh karena itu, media arus utama harus berperan aktif menyampaikan kebenaran dengan pemberitaan oleh wartawan yang punya kompetensi dan memegang teguh kode etik profesi.Fungsi pers sebagai "watchdog" harus berlandaskan pada kebenaran dan etika profesi. Untuk itu pers harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip pers sebagai penjaga kebenaran dan demokrasi.Wartawan merupakan ujung tombak menangkal berita bohong yang makin banyak beredar di media sosial dengan melaksanakan tugasnya dengan profesional sesuai kode etik jurnalistik.Oleh karena itu wartawan harus bisa menangkalnya dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Nama : Sherly Ayu Pratama
BalasHapusNpm : D1C020061
Menurut pendapat saya,pada era ini dan dengan sejalannya perkembangan zaman serta perkembangan teknologi, masyarakat lebih mudah mendapatkan dan mengetahui informasi terkini dengan lebih cepat melalui media-media yang sudah ada.Baik dari media televisi maupun media online.Tapi tidak sedikit juga masyarakat mendapatkan informasi yang belum tentu kebenarannya"Hoax". Masyarakat sekarang mudah mempercayai berita yang mereka lihat di media sosial dan berbagai nya,tanpa melihat kebenaran dari berita tersebut.Itu adalah salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi yang sekarang sedang berkembang pesat.