Kamis, 10 Februari 2022

HUKUM dan FILSAFAT HUKUM

 

PERANAN FILSAFAT HUKUM
DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN
Oleh :
Bambang Hermoyo, SH.MH. *)

Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat  memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyetuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukumhanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target yang dikehendaki.

Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.

Mengenai fungsi Filsafat Hukum, Roscoe Pound (1972: 3) menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi. Suatu usaha untuk melakukan pemecahan menggunakan sistem hukum yang berlaku pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih tinggi. Filsafat hukum memberikan uraian yang rasional mengenai hukum sebagai upaya untuk memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kelangsungan di masa depan. Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dan pengawasan sosial, yang berkaitan dengan (a). tujuan-tujuan masyarakat, (b) masalah-masalah hak asasi, (c) kodrat alam (Leon Duguit, 1919: 47).


Filsafat hukum berasal dari pemikiran Yunani yakni kaum Hemer sampai kaum Stoa sebagai peletak dasarnya. Adapun dasar-dasar utama filosofi hokum timbul dan berkembang dalam negara kota (Polis) di Yunani. Keadaan ini merupakan hasil perpaduan antara kondisi Polis dan perenungan (comtemplation) bangsa Yunani. Renungan dan penjabaran kembali nilai-nilai dasar tujuan hukum, sistem pemerintahan, peraturan-peraturan, kekuasaan absolut mendorong mereka untuk memikirkan masalah hukum. Kecerdasan dan bakat alami orang Yunani memunculkan masalah pokok dalam filsafat hukum pada masa itu, antara lain (a). masalah keadilan dan hubungannya dengan hukum positif, (b) pembahasan mengenai masalah keadilan yang tertuang dalam karya-karya filosof, (c) masalah konsep undang-undang Athena yang tertuang dalam Antigene karya Shopheles.

Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hokum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah. Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang
damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti.

Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo Huijbers, 1982: 31). Untuk membangun kondisi ini diperlukan pemikiran yang mendalam “apakah keadilan, dimana letak keadilan serta bagaimana membangun keadilan itu? Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum (rechtsstaat), bukan Negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:
1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)
4. Jaminan hukum (doelmatigkeit) (Dardji Darmodihardjo, 2002: 36)

Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.

Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan hukum dan kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hokum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim.

Hukum mempunyai hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai (Budiono K, 1999: 37). Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain: (a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional, (b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda, (c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada.

Sumber https://media.neliti.com/media/publications/23511-ID-peranan-filsafat-hukum-dalam-mewujudkan-keadilan.pdf

 

 

Hukum Lahir Dari Filosofi Sebuah Bangsa

Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat terhindar dari segala aktifitas Sosial, Politik dan Budaya yang dapat mempengaruhi lahirnya hukum yang terdapat pada suatu bangsa. Dilihat dari aspek teori hukum terdapat aspek khusus terhadap lahirnya hukum, yaitu sumber Hukum Materil dan sumber Hukum Formil. Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menjadi pedoman dalam membuat peraturan atau kaidah hukum. Dan asal mula sumber hukum materil adalah dari pendapat masyarakat/ umum, kondisi sosial ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain lain. Dengan kata lain sumber hukum materil adalah pembentukan hukum dipengaruhi oleh faktor faktor masyarakat. Dan sumber hukum materil historis, sosiologis dan filosofis adalah merupakan pondasi etis terbentuknya hukum sebagai terapan dari jiwa bangsa.

Sumber hukum materil ini adalah sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap materi dari aturan aturan/ kaidah hukum, atau sebagai tempat dimana hukum materi itu diambil untuk membantu terbentuknya hukum. Faktor faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.

Faktor idiil ini menjadi patokan patokan yang tetap dalam terciptanya sebuah keadilan yang harus ditaati oleh lembaga pembentuk Undang Undang ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.

Faktor kemasyarakatan adalah segala hal yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dan tunduk pada aturan hukum yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lainnya. Faktor faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum, yaitu:

  1. Strukturan ekonomi dan kebutuh kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan perusahaan dan pembagian kerja.
  2. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
  3. Hukum yang berlaku.
  4. Tata hukum negara negara lain.
  5. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
  6. Kesadaran hukum.

Friedrich Carl von Savigny, salah satu tokoh ajaran mazhab sejarah mengungkapkan “das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke” (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Jadi mengacu terhadap pernyataan tersebut, seiring dengan perkembangannya zaman, sebuah aturan/ hukum pun harus mengalami perubahan. Friedrich Carl von Savigny pun menambahkan bahwa suatu hukum tidak bersifat Universal, karena setiap bangsa memiliki sebuah adat kebiasaan dan landasan filosofis tersendiri.

Sumber hukum formil merupakan sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formil, baik itu sebuah kebiasaan suatu negara Seperti, legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah diberi kewenangan secara delegasi oleh Konstitusi dalam suatu negara. Jadi sumber hukum formil merupakan dasar kekuatan yang mengikat terhadap peraturan peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh pihak penegak hukum. Sumber hukum tersebut berkaitan dengan persoalan prosedur atau tata cara dalam membentuk/ membuat suatu aturan.

Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas:

  1. Undang undang (Statue)

Hukum dilihat diri bentuknya dibedakan menjadi:

  1. Hukum tertulis, Undang undang merupakan salah satu contoh dari hukum tertulis.
  2. Hukum tidak tertulis, adat atau kebiasaan merupakan contoh dari hukum tidak tertulis.
  1. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan (Custom) adalah aturan yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi menjadi pegangan atau ditaati oleh Masyarakat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Namun kebiasaan agar memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus bisa dijadikan sumber hukum, maka harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut:

  1. Kebiasaan itu harus dilakukan berulangkali dan diakui oleh orang banyak/ umum.
  2. Harus menimbulkan keyakinan hukum dari orang orang/ golongan, dan memuat hal hal yang baik serta layak untuk diikuti/ ditaati.
  1. Traktat (Perjanjian Internasional)

Adalah Perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih.

  1. Putusan Hakim (Yurisprudensi)

Adalah keputusan Hakim terdahulu yang kemudian dijadikan pedoman oleh hakim hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.

  1. Doktrin Hukum

Adalah pendapat ahli atau sarjana hukumk yang terkenal namanya. Pendapat tersebut dijadikan dasar oleh hakim dalam menyelesaikan/ memutuskan suatu perkara.

Indonesia merdeka pada tahun 1945, artinya sudah 75 tahun yang lalu indonesia terbebas dari penjajahan, namun belum mampu untuk membuat hukum yang sesuai dengan falsafah/ jati diri bangsa. Aturan hukum atau undang undang yang berlaku di Indonesia masih mengadopsi produk hukum Belanda yang dibuat pada saat Belanda menjajah. Undang undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan dalam pasal 5 dan pasal 6 mengenai asas yang menegasikan bahwa perlu aturan yang dibentuk berdasarkan kebangsaan dan kebhinnekaan. 

*Kaprodi HKI (Hukum Keluarga Islam) STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep

Sumber http://staimtarate.ac.id/berita/hukum-lahir-dari-filosofi-sebuah-bangsa

 

Minggu, 06 Februari 2022

BAHASA INDONESIA RAGAM JURNALISTIK

 

BAHASA INDONESIA RAGAM JURNALISTIK
Oleh: Khaerudin Kurniawan
Abstrak
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan jurnalis dalam menuliskan karya-karya jurnalistik, seperti surat kabar, majalah, atau tabloid. Bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dipahami oleh pembaca dengan ukuran intelektual minimal, sehingga mudah dipahami isinya. Namun demikian, bahasa jumalistik juga harus mengikuti kaidah-kaidah norma-norma bahasa.

Bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri yang khas: singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar. dan jelas. Oleh karena itu, bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk bisa menampilkan semua informasi yang dibawanya kepada pembaca secepatnya atau bahasa yang lebih mengutamakan daya komunikasinya.

Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia harus dapat dipahami oleh pembaca di seluruh Indonesia. Jika media massa menggunakan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam media massa tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Oleh karena itu, bahasa Indonesia ragam jurnalistik juga dituntut kebakuannya sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku.


A. Pendahuluan

Setelah kita berada dalam jarak 76 tahun lebih menghirup alam kemerdekaan dari para pendahulu kita yang sangat peduli terhadap martabat bahasa Indonesia itu, mari kita bersama-sama merefleksi apakah keyakinan dan harapan mereka itu sudah terwujud dengan baik? Sudahkah bahasa Indonesia ragam jurnalistik itu digunakan dengan efektif dan efisien?. Bahasa Indonesia ragam jurnalistik seyogyanya didefinisikan juga sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahasa jurnalistik merupakan alat komunikasi para jurnalis yang harus disampaikan dengan cara yang selaras dengan cita-cita dan selera khalayak umum. Jurnalis harus menguasai bahasa jurnalistik yang efektif dan efisien, yang mempunyai ciri-ciri: singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan jelas.

Bahasa jurnalistik merupakan salah satu varian bahasa Indonesia. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang digunakan oleh wartawan dalam surat kabar, majalah, atau tabloid. Dengan demikian, bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat (pembaca) dengan ukuran intelektual minimal, sehingga mereka yang dapat membaca mampu menilai isinya. Bahasa jurnalistik juga harus sesuai dengan norma-norma, kaidah-kaidah bahasa (Anwar 1979:1)

Bahasa jurnalistik menurut Rosihan Anwar adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa. Jadi, hanya bahasa Indonesia pada karya-karya jumalistik sajalah yang bisa dikatakan atau digolongkan sebagai bahasa jumalistik atau bahasa pers, bukan karya-karya opini (artikel, esai). Oleh karena itu, jika ada wartawan yang juga menulis puisi, cerpen, esai, dan artikel, karya-karyanya ini tak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik. Bahasa yang dipakai jumalis dalam menulis puisi, cerpen, artikel, atau esai tak dapat digolongkan sebagai bahasa jumalistik karena hal itu memiliki varian tersendiri.

B. Ciri-ciri Bahasa Ragam Jurnalistik

1. Ciri-ciri Umum
Bahasa jumalistik memiliki sifat-sifat yang khas: singkat, padat,
sederhana, lugas, menarik, linear, dan jelas (Badudu, 1988: 138). Ciri-ciri tersebut harus dipenuhi oleh bahasa jumalistik, bahasa surat kabar, mengingat surat kabar dibaca oleh lapisan masyarakat yang tidak sarna tingkat pengetahuannya, dari warga masyarakat yang berpendidikan dasar sampai dengan warga masyarakat yang berpendidikan tinggi. Di samping itu, tidak semua orang harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu, bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk bisa menyampaikan semua informasi yang dibawanya kepada pembaca secepatnya. Dengan kata lain, bahasa jurnalistik lebih mengutamakan daya komunikasinya.

Contohnya:
IP1N berkabung, bangsa Indonesia berduka. Sebuah pesawat CN-235
versi militer yang sedang melakukan uji dan latihan penerjunan kargo jatuh di Gorda, Serang, Jawa Barat, kemarin 22/5) pukul 13.28 WIB. (Republika, 23 Mei 1997).
Contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa bahasa jumalistik
mengutamakan daya kekomunikasian. Hal ini ditunjukkan dengan kepadatan, kesederhanaan, dan kelugasan pemakaian kalimat dan pilihan kata yang linear dan jelas: IPTN berkabung, bangsa Indonesia berkabung, dan seterusnya, sehingga pembaca dapat memahami dan mengikuti infonnasi yang disampaikan.

2. Ciri-ciri Khusus

a. Singkat
Bahasa jumalistik harus singkat, artinya bahasa jumalistik har
us menghindari penjelasan yang panjang-panjang dan bertele-tele.
Contohnya: .
Sekjen Wanhankamnas melaporkan bahan-bahan yang telah terkumpul
untuk disumbangkan sebagai bahan GBHN. Wanhankamnas juga ingin mendengarkan pandangan-pandangan Presiden Soeharto dan pengalamannya memimpin negara, termasuk melaksanakan pembangunan. (Suara Karya, 24 Mei 1997)
Contoh tersebut menunjukkan pemakaian kalimat yang tidak singkat,
seperti: Wanhankamnas juga ingin mendengarkan pandangan-pandangan Presiden Soeharto dan pengalamannya memimpin negara, termasuk melaksanakan pembangunan. Ketidaksingkatan itu ditunjukkan dengan pengulangan kata "Wanhankamnas", padahal kata itu dapat diganti dengan kata "juga", misalnya.

Adapun contoh kalimat yang singkat seperti berikut:
Badan Pembinaan Hukum Nasional dirasakan belum mampu bekerja
optimal. Ini terbukti dari tak banyaknya produk hukum yang dihasilkan atau dikaji badan ini. (Kompas, 30 Mei 1997). Kata pengganti "ini" pada kalimat kedua digunakan untuk menggantikan kata "Badan Pembinaan Hukum Nasional".

b. Padat
Bahasa ju
rnalistik juga harus padat, artinya bahasa jumalistik yang singkat itu harus sudah mampu menyampaikan informasi yang selengkap-lengkapnya dan sepadat-padatnya. Semua informasi yang diperlukan pembaca harus sudah tertampung di dalamnya. Dalam istilah jurnalistik, artinya ia harus memenuhi syarat 5 W + 1 H sudah mampu menjawab pertanyaan apa (what), siapa (who), di mana (where), kapan (when), mengapa/apa sebabnya (why), dan bagaimana/apa akibatnya (how). Bahasa jumalistik yang padat, juga harus menghindari keterangan-keterangan yang tidak perlu, membuang kata-kata yang dianggap mubazir, dan memegang teguh prinsip ekonomi kata.

Penerapannya dalam tulisan yakni menggunakan kalimat pendek dan menghindarkan sejauh mungkin pemakaian bentuk majemuk. Dalam unsur kata, yakni dengan menghilangkan kata mubazir dan memilih istilah yang pendek (Anwar, 1979: 20). Efisiensi bahasa harus diperhatikan oleh jurnalis. Ini perlu karena surat kabar harus menghemat halaman. Jurnalis harus memilih dalam pengungkapan pikiran, gagasan, ide, dan obsesi-obsesinya yang tersingkat dengan menghindari kata yang berlebih (Badudu, 1992: 78).

Contohnya:
Jalannya pemungutan suara di lembaga pemasyarakatan menarik
perhatian seorang pengamat asing berkebangsaan Jepang. Dia tertarik menyaksikan pemungutan suara karena di Jepang mereka yang berstatus narapidana tidak mempunyai hak pilih dalam Pemillu. (Kompas, 30 Mei 1997).

Kalimat di atas dapat menyampaikan informasi yang padat dan lengkap tentang pemungutan suara yang berlangsung di lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini berarti dapat menjawab pertanyaan: apa, siapa, di mana, kapan, mengapa/apa sebabnya, dan bagaimana/apa akibatnya.


c. Sederhana
Bahasa jurnalistik yang sederhana, artinya bahasa jurnalistik harus
sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal yang sederhana. Kalimat tersebut bukan kalimat-kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks, apalagi sampai beranak bercucu. Kalimat yang efektif, yang praktis, yang jurnalistis ialah kalimat yang sederhana dengan pemakaian/pemilihan kata yang secukupnya saja, tidak berlebihan, dan berbunga-bunga (bombastis). Membuang kata yang mubazir asal tidak mengubah makna informasi tentu tidak dilarang. Tindakan membuang kata yang mubazir ini merupakan langkah yang efektif dan menimbulkan efisiensi kalimat (Siregar, 1987: 136).
Contohnya:
Tim bulutangkis Indonesia gagal memenuhi ambisi memboyong Piala Sudirman
ke tanah air, setelah semalam menyerah 2-3 pada juara bertahan Cina, dalam pertarungan semifinal di Seotstoun Leisure Centre Glasgow, Skotlandia. (Suara Karya 24 Mei 1997).

Kalimat di atas merupakan kalimat yang tidak sederhana. Kalimat sederhana merupakan kalimat tunggal, bukan kalimat majemuk. Contoh tersebut merupakan kalimat majemuk dan kompleks. Adapun contoh kalimat sederhana seperti berikut:
Tidak benar kemenangan Golkar dalam pemilu hanya untuk
mempertahankan status quo. Tak benar pula Golkar tak suka pada pembaruan. Lebih tak benar lagi Golkar membiarkan korupsi, kolusi, dan penyimpangan lainnya. (Suara Karya, 24 Mei 1997). Ketiga contoh kalimat tersebut merupakan kalimat tunggal. Ini berarti kalimat sederhana yang dipakai jumalis dalam menyampaikan informasi kepada pembaca: Tak benar Golkar mempertahankan status quo, tak benar Golkar tak suka pada pembaruan, dan seterusnya.

d. Lugas
Bahasa jumalistik harus lugas, artinya ia hams mampu menyampaikan
pengertian atau makna informasi secara langsung, dengan menghindarkan bahasa.yang berbunga-bunga (bombastis).
Contohnya:
Pihak penyelenggara SEA Games XIX menetapkan akan menyiapkan
204 unit sedan untuk melayani kebutuhan transportasi tamu-tamu VIP/VVIP pada pelaksanaan pesta olahraga Asia Tenggara itu di Jakarta, 11-19 Oktober mendatang. (Suara Karya, 24 Mei 1997).
Terbukti bahwa kalimat yang lugas menyampaikan informasi secara
langsung, tanpa berbunga-bunga (bombastis). Hal ini ditunjukkan dengan menyampaikan fakta bahwa penyelenggara SEA Games akan menyiapkan 204 unit sedan untuk melayani kebutuhan transportasi para tamu VIP. Dalam kalimat tersebut digunakan informasi apa adanya dan langsung (to the point).


e. Menarik
Bahasa jumalistik harus menarik, artinya bahasa jur
nalistik selalu memakai kata-kata yang masih hidup, tumbuh, dan bekembang, menghindari kata-kata dan ungkapan-ungkapan klise dan yang sudah mati. Tuntutan menarik inilah yang membuat bahasa jumalistik harus selalu mengikuti perkembangan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat, termasuk menarik yang baru muncul. Dengan demikian, dalam hal demikian dalam hal kosakata bahasa bahasa jurnalistik memang harus lebih longgar luwes dan bahkan dituntut untuk bisa menjadi pelopor pemasyarakatan dan pembakuan kata dan istilah baru yang dapat memperkaya kosakata dan istilah bahasa Indonesia.

Contohnya:
Semua program membutuhkan pemikiran dan mekanisme organisasi
secara lebih tertib... Nila Ardhianie terpilih sebagai Direktur Eksekutif. la membawahi divisi lingkungan, divisi anak, dan divisi kesehatan masing-masing. Divisi-divisi ini diperkuat sejumlah field worker. (Suara Karya, 24 Mei 1997).

Kemenarikan bahasa jurnalistik seperti contoh di atas ditunjukkan dengan digunakannya kata-kata yang masih hidup, baru, dan berkembang dalam masyarakat, seperti pemakaian kata eksekutif, divisi, mekanisme, organisasi, dan lain-lain. Hal ini juga akan memperkaya kosakata dan perkembangan bahasa Indonesia, sesuai dengan peranan pers sebagai salah satu pembina bahasa Indonesia.

f. Jelas

Bahasa jurnalistik harus jelas, artinya informasi-informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Dengan demikian, struktur kalimatnya harus benar dan tidak menimbulkan penyimpangan pengertian/makna, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, ditekankan agar bahasa jurnalistik memakai kata-kata yang bermakna denotatif. Kendati demikian, seperti telah disinggung di muka, Rosihan Anwar, J.S. Badudu, Ras Siregar, dan sejumlah pakar bahasa dan jurnalistik lainnya sepakat dan sependapat bahwa bahasa jurnalistik tetap didasarkan pada bahasa baku serta norma-norma, dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Contohnya:
Mempertentangkan kepemilikan pribumi dan non-pribumi (pri dan
nonpri) tak ada gunanya. Bahkan akan menggerogoti kekuatan dan daya saing bangsa secara keseluruhan. (Republika, 23 Mei 1997).
Kalimat di atas jelas maknanya sebab tidak menimbulkan makna yang
ambigu (taksa). "Mempertentangkan kepemilikan pribumi dan nonpribumi akan menggerogoti kekuatan dan daya saing bangsa". ltulah makna kalimat yang jelas, sehingga kalimat tersebut mengikuti aturan yang berlaku dalam bahasa baku.


C. Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik


I. Berpedoman pada Bahasa Baku

Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harns dapat
dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa, termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Seperti dikemukakan oleh J.S. Badudu, bahasa baku, baik lisan maupun tulisan dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.

Contohnya:
PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab
atas kerugian itu. Terlebih, sumber kerusakan sebenarnya sudah diketahui empat hari sebelumnya, bahkan hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN. (Republika, 23 Mei 1997). Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar dapat dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Karena itu, bahasa jurnalistik sama sekali tidak berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi resmi: pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, menulis laporan resmi, menulis buku ajar, makalah (paper), skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang hams berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan berbahasa para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan.


2. Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien
Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang
dimaksudkan (Moeliono, 1993: I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang diharapkan pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan keadaan yang menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah.

 

NOTE

Menurut saudara seberapa penting bahasa Indonesia Jurnalistik menjadi pedoman dalam pemahaman jurnalis dalam membuat berita, tuliskan jawaban dikolom komentar beserta NPM Saudara