PERANAN FILSAFAT HUKUM
DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN
Oleh :
Bambang Hermoyo, SH.MH. *)
Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyetuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukumhanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target yang dikehendaki.
Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Mengenai fungsi Filsafat Hukum, Roscoe Pound (1972: 3) menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi. Suatu usaha untuk melakukan pemecahan menggunakan sistem hukum yang berlaku pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih tinggi. Filsafat hukum memberikan uraian yang rasional mengenai hukum sebagai upaya untuk memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kelangsungan di masa depan. Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dan pengawasan sosial, yang berkaitan dengan (a). tujuan-tujuan masyarakat, (b) masalah-masalah hak asasi, (c) kodrat alam (Leon Duguit, 1919: 47).
Filsafat hukum berasal
dari pemikiran Yunani yakni kaum Hemer sampai kaum Stoa sebagai peletak
dasarnya. Adapun dasar-dasar utama filosofi hokum
timbul dan berkembang dalam negara
kota (Polis) di
Yunani. Keadaan ini merupakan hasil
perpaduan antara kondisi Polis dan perenungan (comtemplation) bangsa Yunani. Renungan dan
penjabaran kembali nilai-nilai dasar tujuan hukum,
sistem pemerintahan, peraturan-peraturan, kekuasaan absolut
mendorong mereka untuk memikirkan masalah hukum. Kecerdasan dan bakat
alami orang Yunani memunculkan masalah pokok dalam filsafat hukum pada
masa itu, antara lain (a). masalah keadilan
dan hubungannya dengan hukum positif, (b) pembahasan mengenai
masalah keadilan yang tertuang dalam karya-karya filosof, (c) masalah
konsep undang-undang Athena yang tertuang dalam Antigene karya Shopheles.
Filsafat Hukum bertolak dari
renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya
ada dalam dunia manusia. Filsafat hokum tak lepas dari manusia selaku subjek
hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya
manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini
menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan
mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah. Kondisi
geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang
damai memungkinkan orang
berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan
itu sebenarnya, akan
kemana hukum diberlakukan bagi seluruh
anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti.
Perkembangan filsafat hukum di
Romawi tidak sepesat
di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban
harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta
persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo Huijbers, 1982: 31). Untuk
membangun kondisi ini diperlukan pemikiran yang mendalam “apakah
keadilan, dimana letak keadilan serta bagaimana membangun keadilan itu?
Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur
serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan
hukum harus ditegakkan
berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai
dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang
aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum (rechtsstaat),
bukan Negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus
memperhatikan 4 unsur:
1.
Kepastian hukum
(rechtssicherkeit)
2.
Kemanfaat
hukum (zeweckmassigkeit)
3.
Keadilan
hukum (gerechtigkeit)
4.
Jaminan hukum (doelmatigkeit) (Dardji Darmodihardjo,
2002: 36)
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.
Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.
Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan hukum dan kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hokum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim.
Hukum mempunyai hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai (Budiono K, 1999: 37). Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain: (a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional, (b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda, (c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada.
Sumber https://media.neliti.com/media/publications/23511-ID-peranan-filsafat-hukum-dalam-mewujudkan-keadilan.pdf
Hukum Lahir Dari Filosofi Sebuah Bangsa
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat terhindar dari segala aktifitas Sosial, Politik dan Budaya yang dapat mempengaruhi lahirnya hukum yang terdapat pada suatu bangsa. Dilihat dari aspek teori hukum terdapat aspek khusus terhadap lahirnya hukum, yaitu sumber Hukum Materil dan sumber Hukum Formil. Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menjadi pedoman dalam membuat peraturan atau kaidah hukum. Dan asal mula sumber hukum materil adalah dari pendapat masyarakat/ umum, kondisi sosial ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain lain. Dengan kata lain sumber hukum materil adalah pembentukan hukum dipengaruhi oleh faktor faktor masyarakat. Dan sumber hukum materil historis, sosiologis dan filosofis adalah merupakan pondasi etis terbentuknya hukum sebagai terapan dari jiwa bangsa.
Sumber hukum materil ini adalah sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap materi dari aturan aturan/ kaidah hukum, atau sebagai tempat dimana hukum materi itu diambil untuk membantu terbentuknya hukum. Faktor faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
Faktor idiil ini menjadi patokan patokan yang tetap dalam terciptanya sebuah keadilan yang harus ditaati oleh lembaga pembentuk Undang Undang ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Faktor kemasyarakatan adalah segala hal yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dan tunduk pada aturan hukum yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lainnya. Faktor faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum, yaitu:
- Strukturan ekonomi dan kebutuh kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan perusahaan dan pembagian kerja.
- Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
- Hukum yang berlaku.
- Tata hukum negara negara lain.
- Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
- Kesadaran hukum.
Friedrich Carl von Savigny, salah satu tokoh ajaran mazhab sejarah mengungkapkan “das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke” (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Jadi mengacu terhadap pernyataan tersebut, seiring dengan perkembangannya zaman, sebuah aturan/ hukum pun harus mengalami perubahan. Friedrich Carl von Savigny pun menambahkan bahwa suatu hukum tidak bersifat Universal, karena setiap bangsa memiliki sebuah adat kebiasaan dan landasan filosofis tersendiri.
Sumber hukum formil merupakan sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formil, baik itu sebuah kebiasaan suatu negara Seperti, legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah diberi kewenangan secara delegasi oleh Konstitusi dalam suatu negara. Jadi sumber hukum formil merupakan dasar kekuatan yang mengikat terhadap peraturan peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh pihak penegak hukum. Sumber hukum tersebut berkaitan dengan persoalan prosedur atau tata cara dalam membentuk/ membuat suatu aturan.
Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas:
- Undang undang (Statue)
Hukum dilihat diri bentuknya dibedakan menjadi:
- Hukum tertulis, Undang undang merupakan salah satu contoh dari hukum tertulis.
- Hukum tidak tertulis, adat atau kebiasaan merupakan contoh dari hukum tidak tertulis.
- Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan (Custom) adalah aturan yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi menjadi pegangan atau ditaati oleh Masyarakat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Namun kebiasaan agar memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus bisa dijadikan sumber hukum, maka harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut:
- Kebiasaan itu harus dilakukan berulangkali dan diakui oleh orang banyak/ umum.
- Harus menimbulkan keyakinan hukum dari orang orang/ golongan, dan memuat hal hal yang baik serta layak untuk diikuti/ ditaati.
- Traktat (Perjanjian Internasional)
Adalah Perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih.
- Putusan Hakim (Yurisprudensi)
Adalah keputusan Hakim terdahulu yang kemudian dijadikan pedoman oleh hakim hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.
- Doktrin Hukum
Adalah pendapat ahli atau sarjana hukumk yang terkenal namanya. Pendapat tersebut dijadikan dasar oleh hakim dalam menyelesaikan/ memutuskan suatu perkara.
Indonesia merdeka pada tahun 1945, artinya sudah 75 tahun yang lalu indonesia terbebas dari penjajahan, namun belum mampu untuk membuat hukum yang sesuai dengan falsafah/ jati diri bangsa. Aturan hukum atau undang undang yang berlaku di Indonesia masih mengadopsi produk hukum Belanda yang dibuat pada saat Belanda menjajah. Undang undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan dalam pasal 5 dan pasal 6 mengenai asas yang menegasikan bahwa perlu aturan yang dibentuk berdasarkan kebangsaan dan kebhinnekaan.
*Kaprodi HKI (Hukum Keluarga Islam) STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep
Sumber http://staimtarate.ac.id/berita/hukum-lahir-dari-filosofi-sebuah-bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar