Selasa, 24 Mei 2022

Penyimpangan Bahasa Jurnalistik

 

Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa media cetak, on line, maupun elektronik (radio dan tv). Sebagai bahasa komunikasi massa, maka bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.

Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers atau bahasa jurnalistik, mengingat produk media massa (pers) seperti koran dibaca oleh semua lapisan masyarakat, begitu juga dengan siaran radio dan tv. Dimana yang membaca dan mendengarkan atau menonton tidak sama tingkat pengetahuannya

  • Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
  • Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya. Menerapkan prinsip 5 W 1H, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
  • Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
  • Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
    Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
  • Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca, pendengar, penonton). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).

Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi.

Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena

Kesalahan menggunakan bahasa Indonesia dalam jurnalistik terjadi karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, keterbatasan waktu menulis atau membuat berita, keterbatasan kemampuan beradaptasi dengan lamanya jam kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa baik di media cetak (surat kabar), media elektronik, maupun on line.

Terdapat beberapa penyimpangan atau kesalahan bahasa jurnalistik terhadap kaidah bahasa Indonesia baku:

1. Peyimpangan morfologis:

Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi tembak mati terduga teroris anggota kelompok Nurdin M Top di Solo Jawa Tengah. (tembak harusnya menembak)

2. Kesalahan sintaksis:

Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan grabah Pleret banyak diekspor hasilnya ke Eropa. Seharusnya Judul tersebut diubah menjadi Hasil kerajinan grabah Pleret banyak diekspor ke Eropa.

3. Kesalahan kosakata:

Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu merupakan pukulan telak bagi kemanusian. Seharusnya kata pukulan telak diganti saja langsung dengan kata kejahatan (kejahatan kemanusian).

Kesalahan ejaan : Kesalahan ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak), on line, radio dan tv (elektronik). Kesalahan ejaan biasanya terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.

4. Kesalahan pemenggalan:

Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini bisa jadi disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.

Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakai bahasa jurnalistik yang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi.

Dalam teknik sinonimi dia dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan :

  • Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
  • Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual.
  • Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
  • Akurasi data.
  • Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W 1H
  • Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.

Oleh karena itu diperlukan latihan menulis yang terus-menerus, dan latihan penyuntingan. Dengan upaya pelatihan dan penyuntingan, diharapkan seorang jurnalis dapat menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.

https://jurusjadiwartawan.wordpress.com/2017/12/14/penyimpangan-bahasa-jurnalistik/

Tranformasi Media Massa Era Digital

 

Saat ini, memahami eksistensi media pemberitaan tidak cukup hanya dengan mengkaji cara kerja praktisi serta khalayak dalam upaya mememenuhi kebutuhan informasi. Hal tersebut memerlukan juga penelusuran tentang perubahan konsep media pemberitaan yang dipengaruhi perkembangan teknologi pendukungnya. Konsep media senantiasa mengikuti dinamika peradaban manusia yang saat ini telah memasuki era masyarakat informasi (Aoyama & Castells, 2002). Jika dibandingkan dengan era sebelumnya (era masyarakat pertanian dan era masyarakat industri), media penyiaran abad ini memiliki karakteristik yang semakin kompleks.

Selain interaktivitas yang ditawarkan, media massa sekarang memiliki karakteristik  yang tidak kalah penting, yaitu digitalisasi. Tidak dapat dipungkiri lagi, media penyiaran dengan platform digital memiliki banyak kelebihan dibandingkan media analog atau konvensional. Selain membuka jalur komunikasi dua arah, media baru era informasi memiliki performa kualitas tayangan serta sebaran yang lebih luas. Karakter terakhir yang diusung adalah Audience Generated, bahwa media baru memungkinkan khalayak mendistribus ikan konten yang mereka himpun sendiri (Straubhaar & LaRose, 2006).

Pada era masyarakat informasi industri media massa mau tidak mau harus bertransformasi dari bentuk analog menjadi digital. Karena ciri khas produk teknologi di era ini menawarkan produktivitas, efisiensi, kecepatan dan lintas batas. Perangkat komunikasi teks, audio dan visual yang sebelumnya terpisah kini berpadu dan konvergen dalam satu perangkat transmisi yang menggabungkan fungsi media penyiaran lama ke dalam satu platform media baru. Semuanya didukung oleh jaringan global Internet, yang bahwa media massa, komputer, dan jaringan telekomunikasi saling berintegrasi atau bela kangan lazim disebut sebagai konvergensi media
(Straubhaar & LaRose, 2006).

Perangkat komunikasi yang makin konvergen juga punya andil besar dalam perubahan tatanan distribusi informasi saat ini. Kamera yang terintegrasi dalam perangkat komunikasi nirkabel membuat informasi yang dihimpun menjadi lebih lengkap karena didukung visualisasi dari tempat peristiwa (Brown, 2012). Masyarakat atau khalayak dapat mendistribusikan informasi yang memiliki nilai berita, lebih cepat ketimbang seorang jurnalis sekalipun. Jika sudah begini, praktis pelaku industri media pemberitaan harus berpikir ulang guna menjaga eksistensi mereka sebagai penyaji informasi faktual mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan gaya hidup masyarakat yang mengiringnya. Mereka harus mengakomodasi kebangkitan Citizen Journalism atau pewarta warga, yang kemudian membuka keran partisipasi aktif masyarakat untuk mengumpulkan, memilih, dan melaporkan informasi yang memiliki nilai berita (Flew, 2008).

Kebangkitan Citizen Journalism atau pewarta warga berhubungan erat dengan meluasnya jaringan sosial media yang mengiringi perkembangan Information Communication Technology atau teknologi komunikasi informasi (ICT). Kehadiran media sosial memperlihatkan teknologi informasi dan komunikasi telah merambah semua aspek kehidupan manusia dalam konteks membangun hubungan sosial (Flew, 2008). Jaringan distribusi informasi melalui infrastruktur Internet praktis lebih luas bahkan bersifat global ketimbang jaringan media pemberitaan konvensional. Pola distribusi informasi pun beragam karena social software atau perangkat sosial yang berkembang lebih dari satu macam, seperti Blog, Facebook, Twitter, Youtube dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Praktis yang menjadi pertanyaan kemudian adalah tentang hal yang harus dilakukan praktisi media penyiaran profesional yang sudah ada dalam menyambut fenomena tersebut, dan mereka melihatnya sebagai suatu ancaman atau justru sebagai sebuah peluang.

Fenomena tumbuh pesatnya media sosial berikut pewarta warga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh praktisi industri media massa mainstream. Pasalnya pola produksi dan distribusi informasi telah mengalami pergeseran seiring dengan penerapan perangkat komunikakasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Media pemberitaan ekstrim sebenarnya telah melakukan sinergi dengan melakukan transformasi pada distribusi pemberitaannya. Transformasi sendiri adalah perubahan yang dilakukan berdasarkan suatu saran atau masukan yang berujung berupa output perubahan (Goldhaber, 1993). Ada upaya mengubah atau membuat berbeda dari segi produksi hingga penyajian informasi yang dilakukan media mainstream saat ini. Stasiun televisi berita Metro TV, misalnya, tidak cukup dengan hanya menyiarkan informasi di media televisi terestrial, tetapi juga menyiarkan konten berita di ranah media online metrotvnews.com. Metro TV juga memberikan kesempatan kepada pewarta warga untuk mengirimkan karya jurnalistiknya untuk ditayangkan di salah satu program acaranya yaitu Wideshot. Program yang mengapresiasikan karya jurnalisme warga ini disiarkan setiap hari senin-jumat jam 13.00 hingga 17.00 WIB. Selain itu Metro TV juga memberikan pelatihan melalui kegiatan roadshow  ke berbagai daerah, termasuk memberikan anugerah bagi karya jurnalistik warga untuk kategori peristiwa maupun feature (Aryono, 2012).

Transformasi media pemberitaan dengan mens inergikan teknologi informasi dan komunikasi cepat latau lambat harus dilakukan praktisi industri media pemberitaan mainstream di Indonesia termasuk media televisi. Seperti halnya konsep televisi era digital yang dijabarkan Dominick (2009), transformasi tak cukup hanya dengan mengadopsi teknologi penyiaran digital tetapi juga outlet berita masa kini, yang penyiaran juga berbasis broadband atau teknologi Internet. Pengguna dalam hal ini khalayak adalah unsur penting yang mengendalikan arus konten yang disiarkan atau user-generated content, terkait dengan perubahan pola masyarakat era informasi dalam mengakses dan mendistribusikan berita (Dominick, 2009).

Disarikan melalui artikel TRANSFORMASI MEDIA MASSA MENUJU ERA MASYARAKAT INFORMASI DI INDONESIA

Wira Respati Marketing Communication Department, Faculty of Economic and Communication, BINUS University Jln. K.H. Syahdan No.9, Palmerah, Jakarta Barat 11480
warespati@gmail.com