Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa media cetak, on line, maupun elektronik (radio dan tv). Sebagai bahasa komunikasi massa, maka bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers atau bahasa jurnalistik, mengingat produk media massa (pers) seperti koran dibaca oleh semua lapisan masyarakat, begitu juga dengan siaran radio dan tv. Dimana yang membaca dan mendengarkan atau menonton tidak sama tingkat pengetahuannya
- Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
- Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya. Menerapkan prinsip 5 W 1H, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
- Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
- Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan
pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa
yang berbunga-bunga .
Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. - Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca, pendengar, penonton). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).
Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi.
Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena
Kesalahan menggunakan bahasa Indonesia dalam jurnalistik terjadi karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, keterbatasan waktu menulis atau membuat berita, keterbatasan kemampuan beradaptasi dengan lamanya jam kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa baik di media cetak (surat kabar), media elektronik, maupun on line.
Terdapat beberapa penyimpangan atau kesalahan bahasa jurnalistik terhadap kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Peyimpangan morfologis:
Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi tembak mati terduga teroris anggota kelompok Nurdin M Top di Solo Jawa Tengah. (tembak harusnya menembak)
2. Kesalahan sintaksis:
Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan grabah Pleret banyak diekspor hasilnya ke Eropa. Seharusnya Judul tersebut diubah menjadi Hasil kerajinan grabah Pleret banyak diekspor ke Eropa.
3. Kesalahan kosakata:
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu merupakan pukulan telak bagi kemanusian. Seharusnya kata pukulan telak diganti saja langsung dengan kata kejahatan (kejahatan kemanusian).
Kesalahan ejaan : Kesalahan ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak), on line, radio dan tv (elektronik). Kesalahan ejaan biasanya terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
4. Kesalahan pemenggalan:
Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini bisa jadi disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakai bahasa jurnalistik yang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi.
Dalam teknik sinonimi dia dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan :
- Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
- Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual.
- Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
- Akurasi data.
- Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W 1H
- Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis yang terus-menerus, dan latihan penyuntingan. Dengan upaya pelatihan dan penyuntingan, diharapkan seorang jurnalis dapat menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.
https://jurusjadiwartawan.wordpress.com/2017/12/14/penyimpangan-bahasa-jurnalistik/