Grasia Renata Lingga
Resensi:
Buku "Manusia Langit" berkisah tentang seorang arkeolog muda, Mahendra, yang berjuang melepaskan diri dari ikatan peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias, yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia langit.
Di sana ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia: dunia kampus di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan yang menyangkut prinsip hidup-mati, harga diri, pesta bahkan juga soal perempuan.
Novel yang membawa kita menyelami kultur Nias yang eksotik sekaligus hanyut dalam kehidupan dunia kampus yang penuh dengan romantika. Hingga sampai pada sebuah kisah cinta mengharukan dengan latar beragam budaya yang berbeda.
Analisis:
Buku yang diberi judul "Manusia Langit" merupakan novel etnografis yang di suguhkan Jajang A. sonjaya yang seorang akademisi, dan berhasil memadukan antara fiksi dan fakta. Dengan di latarbelakangi realitas etnografis yang sangat menarik.
Mulai dari isu gender, pertahanan lingkungan sosial, bahkan perbedaan-perbedaan yang pelik karena keberagaman budaya.
Seperti yang tertulis pada salah satu bagian dalam cerita:
"benarkah kak yasmin bunuh diri ,bang?"
"Sepertinya begitu," jawabku lemah. "aku tidak tahu kelanjutan ceritanya karena aku langsung melarikan diri ke sini."
"kenapa kak yasmin nekat berbuat seperti itu ya?"
"demi melindungiku, Sayani, demi menjaga harga diriku."
"Tapi,harga diri seorang lelaki kan urusan lelaki, perempuan biarlah mengurus dirinya sendiri," sanggah Sayani. "kalau di sini, justru laki-laki yang harus melindungi perempuan, bukan sebaliknya; jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan."
Buku "Manusia Langit" berkisah tentang seorang arkeolog muda, Mahendra, yang berjuang melepaskan diri dari ikatan peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias, yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia langit.
Di sana ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia: dunia kampus di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan yang menyangkut prinsip hidup-mati, harga diri, pesta bahkan juga soal perempuan.
Novel yang membawa kita menyelami kultur Nias yang eksotik sekaligus hanyut dalam kehidupan dunia kampus yang penuh dengan romantika. Hingga sampai pada sebuah kisah cinta mengharukan dengan latar beragam budaya yang berbeda.
Analisis:
Buku yang diberi judul "Manusia Langit" merupakan novel etnografis yang di suguhkan Jajang A. sonjaya yang seorang akademisi, dan berhasil memadukan antara fiksi dan fakta. Dengan di latarbelakangi realitas etnografis yang sangat menarik.
Mulai dari isu gender, pertahanan lingkungan sosial, bahkan perbedaan-perbedaan yang pelik karena keberagaman budaya.
Seperti yang tertulis pada salah satu bagian dalam cerita:
"benarkah kak yasmin bunuh diri ,bang?"
"Sepertinya begitu," jawabku lemah. "aku tidak tahu kelanjutan ceritanya karena aku langsung melarikan diri ke sini."
"kenapa kak yasmin nekat berbuat seperti itu ya?"
"demi melindungiku, Sayani, demi menjaga harga diriku."
"Tapi,harga diri seorang lelaki kan urusan lelaki, perempuan biarlah mengurus dirinya sendiri," sanggah Sayani. "kalau di sini, justru laki-laki yang harus melindungi perempuan, bukan sebaliknya; jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan."
Dalam dialog tersebut, menjelaskan bagaimana peradaan
pandangan dan nilai terhadap satu aspek kehidupan, yang dilatar belakangi jenis
kelamin. Bagaimana seharusnya nilai-nilai itu dijaga oleh masyarakat pedalaman,
sedangkan Mahendra yang dari kota menganggapnya sebagai hal yang biasa,
walataupn di dasar hati, dia juga ingin melindungi
Dialog yang lain:
"Dahulu kala, orang jawa pun mengukur sensualitas perempuan bukan dari dada, melainkan betis. Kamu pernah dengar tentang Ken Arok?"
Pernah, waktu pelajaran sejarah di SMA dulu," terang Sayani, "Ada apa dengan Ken Arok?"
"ken Arok tertarik pada ken Dedes ketika melihat betis perempuan cantik itu yang tersingkap. ken Arok sama sekali tak tertarik pada buah dadanya, karena ia sudah biasa melihat perempuan bertelanjang dada dalam keseharian. hingga abad ke-19 para perdmpuan di Jawa, Bali, dan Lombok masih biasa bertelanjang dada. Setelah bisa menerima kehadiran agama, para perempuan di jawa mulai menutupi dada mereka dengan kain. Namun beberapa tempat, seperti Bali, mereka masih bertelanjang dada di tempat-tempat umum tertentu, misalnya ketika mandi, dan mencuci di sungai,"
Sayani hanya terkekeh."berari Bali sama seperti di sini."
"begitulah Sayani, sensualitas dan moral itu sangat di pengaruhi oleh kebiasaan,"
"Tapi," kata sayani mengingatkan, "jika abang menatap buah dada itu dengan tatapan penuh birahi, Abang akan kena denda."
"tentu, Saya ni, aku tahu itu," aku memotong. "Itulah hebatnya di sini, orang Banuaha mempunyai kontrol sosial yang kuat yang mengalahkan hukum positif di kota. di sana banyak sekali persdlingkuhan dan perkosaan, sedangkan di sini tidak ada, bukankah begitu?"
"Dahulu kala, orang jawa pun mengukur sensualitas perempuan bukan dari dada, melainkan betis. Kamu pernah dengar tentang Ken Arok?"
Pernah, waktu pelajaran sejarah di SMA dulu," terang Sayani, "Ada apa dengan Ken Arok?"
"ken Arok tertarik pada ken Dedes ketika melihat betis perempuan cantik itu yang tersingkap. ken Arok sama sekali tak tertarik pada buah dadanya, karena ia sudah biasa melihat perempuan bertelanjang dada dalam keseharian. hingga abad ke-19 para perdmpuan di Jawa, Bali, dan Lombok masih biasa bertelanjang dada. Setelah bisa menerima kehadiran agama, para perempuan di jawa mulai menutupi dada mereka dengan kain. Namun beberapa tempat, seperti Bali, mereka masih bertelanjang dada di tempat-tempat umum tertentu, misalnya ketika mandi, dan mencuci di sungai,"
Sayani hanya terkekeh."berari Bali sama seperti di sini."
"begitulah Sayani, sensualitas dan moral itu sangat di pengaruhi oleh kebiasaan,"
"Tapi," kata sayani mengingatkan, "jika abang menatap buah dada itu dengan tatapan penuh birahi, Abang akan kena denda."
"tentu, Saya ni, aku tahu itu," aku memotong. "Itulah hebatnya di sini, orang Banuaha mempunyai kontrol sosial yang kuat yang mengalahkan hukum positif di kota. di sana banyak sekali persdlingkuhan dan perkosaan, sedangkan di sini tidak ada, bukankah begitu?"
Dari dialog tersebut, kita boleh mengerti bahwa bagaimana
nilai-nilai yang harts di jaga, sebenarnya sudah bergeses. Bagaimana sisi baik
dari masyarakat tradisional adalah menjaga dan tidak mengabaikan hal-hal yang
menjadi bagian penting dalam strukturak masyarakat, yaitu hukum yang di
berlakukan untuk mengontrol perbuatan sosial, dan jika di banding dengan
masyarakat perkotaan, mungkin hujum pidana pun sudah tidak menjadi hukum yang
menakutkan lagi.
Dari pengalaman yang luar biasa, kita di ajarkan tentang esensi persamaan dan perbedaan tentang diri kita yang kita temukan dalam diri orang lain, tentang diri orang lai yang kita temukan dalam diri kita,utamanya tentang harga diri yang di satu tempat di junjung tinggi, tapi di tempat lain ternyata tidak ada arti.
Dari pengalaman yang luar biasa, kita di ajarkan tentang esensi persamaan dan perbedaan tentang diri kita yang kita temukan dalam diri orang lain, tentang diri orang lai yang kita temukan dalam diri kita,utamanya tentang harga diri yang di satu tempat di junjung tinggi, tapi di tempat lain ternyata tidak ada arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar