Manajemen
media massa memang sangat menentukan input dan ouput terhadap media massa itu
sendiri. Sebagaimana yang kita tahu media massa adalah alat penyampai informasi
kepada khalayak. Adapun beberapa sifat dari media massa diantaranya
menyampaikan informasi secara serentak. Artinya tidak ada media massa yang
menyampaikan informasinya dengan sebagian-sebagian. Jenis – jenis media massa
adalah media elektronik, dan media cetak. Oleh karena fungsi utama media massa
adalah sebagai penyampai informasi kepada khalayak, tentunya manajemen yang
baik sangat diperhatikan dalam menunjang eksistensi media massa tersebut, baik
itu pada media massa cetak atau pun pada media massa elektronik. Namun ternyata
meskipun manajemennya baik tidak semua sistem yang melandasinya itu juga baik.
Awalnya, media massa hanya dipahami
sebagai sumber berita . banyak orang
butuh media karena butuh berita aktual. Mereka sebagai konsumen begitu percaya
terhadap apa-apa yang ditampilkan atau disampaikan oleh media. Mereka
beranggapan bahwa media tidak akan berbohong karena ada etika jurnalistik
sebagai pedoman para awak media. Tetapi seiring waktu dan perkembangan zaman.
Lama-lama konsumen menjadi tahu dan sadar bahwa media itu tidak sesuci dari
yang digambarkan. Media bukan lagi sebagai penengah dari mereka yang
bersengketa. Media bukan lagi sebagai penyampai informasi melainkan sudah
menjadi biang dusta terhadap khalayak. Media lebih mengutamakan rating daripada
menjadi pembela rakyat jelata. Awak media lebih memilih menjual harga diri
dengan murah hanya demi uang. Halal haram semua dihantam. Tidak ada media massa
yang dapat menjadi acuan selama media tersebut berhaluan sekuler liberal. Fakta
membuktikan bahwa media sekuler telah meninggalkan etika jurnalisme yang
seharusnya menjadi pedoman bermedia. Jadi bukan rahasia lagi jika media-media
itu menjual sensasi, foto dan cerita vulgar, gosip dan lain sebagainya untuk
menampung untung.
Kondisi semakin dipersulit ketika
zaman modern saat ini diramaikan dengan beragam teknologi canggih, mulai dari
aplikasi internet, smartphone, 3G bahkan 4G, dan lain-lain. Terobosan teknologi
ini semakin membuat hegemoni atau eksistensi media sekuler lebih kuat.
Akibatnya kehidupan manusia pun menjadi semakin ribut, narsistik dan tak tentu
arah.
Manajamen dalam media massa memang
menjadi tolak ukur dalam aktivitas media massa. Namun jika “sistem” yang
digunakan dalam manajemen tersebut salah tentu implikasinya jelas akan terlihat
tumpang tindih dan tidak ada keseimbangan. Seperti halnya media yang berhaluan
sekuler liberal tentu jauh berbeda dari media islam. Islam menilai bahwa segala
sesuatu itu memiliki batasan. Tidak ada kebebasan yang sekehendak hati. Oleh
karena itu Allah memeberikan perintah dan larangan. Demikian pula manusia
diberikan pilihan apakah beriman ataukah ingkar.
Disisi lain, kebebasan pers yang
telah mendapatkan konstitusi UU No. 40 tahun 1999. Memiliki syarat utama yang
salah satunya adalah kebebasan pers harus digunakan sebaik-baiknya untuk
kepentingan memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Kebebasan pers dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mengais
keuntungan dan mempekuat hegemoni kekuasannya baik politik maupun ekonomi.
Karena aspek yang paling kuat yang mempengaruhi independensi media adalah aspek
ekonomi dan aspek politik.
Dominasi dan kekuatan media yang
dahsyat itulah yang kemudian menjadi bencana bagi umat islam. Ketika media
dijadikan alat untuk menyerang islam. Menodai simbol-simbolnya serta menzhalimi
umatnya. Dan memporak porandakan kehidupan umat. Padahal sejak awal ajaran
islam memiliki perhatian lebih pada media. Media sangat erat kaitannya dengan
opini publik. Sementara opini publik berkaitan dengan kondisi stabilitas
sosial. Artinya, damai atau gelisahnya kehidupan di tengah-tengah masyarakat
sangat bergantung pada opini publik yang berkembang. Media adalah penyampai
atau perantara. Dalam islam hal tersebut bisa disebut dengan tabligh (menyampaikan) yang merupakan
salah satu dari sifat Nabi yang patut dicontoh oleh media.
Jika ditelisik lebih jauh, kita akan
mengetahui bahwa sesungguhnya saat ini umat manusia di dunia termasuk kita di
kontrol oleh Shadow Goverment
(pemerintah bayangan). “Pemerintah bayangan/tersembunyi ini merupakan
pemerintah ‘sebenar-benarnya’ yang mengendalikan laju utama pemerintah yang
digambarkan kepada kita secara umum. Identitas-identitas anggota serta tempat
rapat pemerintah bayangan tersembunyi. Maka tidak heran jika invasi militer
yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat ke Irak, Afghanistan. Termasuk
kebrutalan Zionis-Israel yang mencaplok tanah Palestina, merupakan konsep yang
memang telah direncanakan oleh Shadow
Government. Kenapa ? karena hal tersebut terbukti dari tidak adanya
tindakan tegas dari lembaga-lembaga internasional seperti PBB dalam memberikan
perlindungan terhadap negara-negara yang diluluhlantakkan oleh Amerika dan
Zionis Israel.
Dari kasus tersebut, media massa
telah sukses dalam memanipulasi dan memutar balikkan apa yang seharusnya
diketahui oleh manusia. Media massa tidak pernah menyentuh keaslian
berbahayanya tingkat kejahatan Amerika, Zionis-Israel terhadap manusia,
khususnnya islam. Hasilnya, islam dikambinghitamkan dan kian dipersulit. Bahkan
Dr. AC. Manullang, mantan ketua badan intelijen nasional pernah mengatakan bahwa
yang dianggap paling mengecam eksistensi Yahudi kelak adalah Indonesia, ketika
umat islam Indonesia bersatu. Untuk mencegah persatuan itu, maka salah satu
caranya adalah dengan membawa Neoliberalisme dan Neokapitalisme. Paham inilah
yang mengatakan Islam sebagai teroris.
Media-media di Indonesia hanyalah
bagian dari media global. Tak ada media nasional Indonesia yang tidak menginduk
kepada pemilik media milik Yahudi Internasional (AOL Time Warner pemiliknya
adalah juragan media Yahudi Gerald Levin, The Walt Disney Co pemiliknya adalah
Michael D.Eisner, seorang Yahudi, News Corporation pemiliknya Rupet Murdoch,
dan lain sebagainya). Jadi tentunya isi apapun yang disampaikan oleh media
tersebut pada umumnya adalah yang menyudutkan islam. Atau jika tidak, media
tersebut akan selalu menyajikan konten yang dapat menjauhi manusia terhadap
islam, khususnya lagi menjauhi orang islam tehadap agama islam, agamanya
sendiri.
Di dalam kehidupan kita saat ini,
terjadi peperangan yang sama-sama kuat atara dakwah islam dan propaganda
sekuler. Agama tidak lagi dijadikan sebagai keyakinan melainkan hanya sebuah
permainan. Betapa tidak, beberapa situs yang dikhawatirkan menyampaikan isu
radikal langsung di block. Lelaki
yang berjanggut, berpakaian koko, perempuan yang berjilbab panjang dicurigai
sebagai teroris, bahkan masjid yang merupakan tempat ibadah umat islam turut
dicurigai sebagai pembentukan calon teroris. MasyaAllah..
Sekuat atau sehebat apapun gencarnya
dakwah sekularisme dalam melenakan sehingga membuat manusia menjadi seperti
mayat hidup, maka sebenarnya lebih kuat lagi pergerakan dakwah islam yang memperjuangkan
idealismenya. Akhirnya semakin nyatalah bahwa sistem sekuler liberal yang
dipakai dalam memanajemen media massa menjadi pondasi awal kehancuran media
massa itu sendiri, karena memukul rata antara dusta dan kejujuran. Sehingga
tidak lagi ada bedanya antara putih dengan hitam. Berbeda halnya jika sistem
manajemen media massa yang dipakai adalah sistem islam. Dimana islam telah
menyatukan seluruh aspek kehidupan dengan benar-benar seimbang. Jelas berbeda
antara dusta dan kejujuran, benar atau salah bahkan hitam dan putih, semua
telah diatur sedemikian rupa, tidak ada satu sistem pun yang mampu menandingi
sistem islam. Sehingga sekeliling yang bernaung dengan islam akan menjadi
damai.
Meskipun saat ini kuantitas jurnalis
muslim masih minoritas, namun bukan berarti akan diam. Justru dengan kuantitas
yang baru sedikit ini akan memberikan kualitas yang hebat sehingga melahirkan
generasi-generasi jurnalis muslim yang akan menjamur. Peran mereka bukan remeh,
mereka akan kembali menerangi manusia melalui informasi-informasi yang dijamin
keabsahannya, teguh dalam idealismenya yang berlandaskan islam. Sehingga
terjadilah revolusi media. Seperti yang pernah dikatakan oleh Mohammad Fadhilah
Zein, dan penulis buku sekaligus berprofesi sebagai jurnalis “ Revolusi media
tidak akan pernah terjadi di media arus utama. Mereka lebih sibuk dengan
popularitas, rating, dan uang. Revolusi media lahir dari pinggir, dan dilakukan
oleh sekelompok orang yang dianggap tidak ada. Siapakah mereka ? mereka adalah
jurnalis Muslim yang senantiasa membela Agama kebenaran, penuh dedikasi, dan
keikhlasan meski dihadapkan pada banyak keterbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar